Kasus Noel Jadi Alarm Bahaya Perang Antikorupsi Prabowo

Kiri: Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, Kanan: Emmanuel Ebenezer alias Noel, aktivis 98.
Jakarta – Penangkapan Emmanuel Ebenezer alias Noel, aktivis 98 yang kini menjabat Wakil Menteri, memicu sorotan tajam terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam agenda pemberantasan korupsi.
Momentum ini terjadi saat Presiden berkali-kali menegaskan tekadnya memimpin langsung perang melawan praktik rasuah.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kasus Noel bukan sekadar persoalan individu, tetapi sinyal keras bagi pemerintah.
“Dalam pidatonya, Presiden kembali menegaskan komitmen memberantas korupsi, bahkan mengancam seluruh jajarannya agar menjauhi perilaku koruptif. Ia sendiri berjanji akan memimpin upaya mengejar koruptor hingga ke Antartika,” ujarnya, Sabtu (23/8/2025).
Namun realitas di lapangan jauh berbeda. Noel yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat justru diduga mempermainkan tarif sertifikat K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dari Rp275 ribu melonjak hingga Rp6 juta per sertifikat.
“Lebih ironis lagi, praktik itu melibatkan ASN hingga pejabat eselon II, dan berlangsung sejak bulan pertama ia menjabat,” tegas Wijayanto.
Ia menyebut, banyak pihak menilai jabatan Wakil Menteri hanya dijadikan batu loncatan untuk meraup keuntungan pribadi. Situasi ini diperparah oleh kasus lain yang tengah diusut, mulai dari dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama hingga keterkaitan Kementerian Komunikasi dan Digital dengan perlindungan judi online.
“Korupsi telah mengakar, hingga muncul kesan bahwa pemerintah kita menjelma menjadi ‘Pemerintahan Wani Piro’: values (nilai-nilai) dibuang, digantikan value (nilai uang). Segalanya serba transaksional,” kata Wijayanto.
Risiko besar, lanjutnya, justru menghantui agenda besar Presiden Prabowo yang dikenal masif dan berbiaya tinggi, seperti Program Makan Bergizi Gratis senilai Rp335 triliun per tahun, pembangunan 3 juta rumah, hingga Kopdes Merah Putih.
“Bagaimana jika korupsi sistemik merembes ke dalamnya? Bagaimana jika masyarakat gagal bayar cicilan KPR subsidi? Siapkah perbankan menghadapi tsunami kredit macet?” ujarnya penuh tanya.
Ia memperingatkan bahwa dampak serius bisa muncul pada 2027–2028, bertepatan dengan masa politik baru. “Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah mengantisipasi?” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah harus menyesuaikan program dengan kapasitas fiskal dan kemampuan birokrasi agar tidak terbebani.
“Ada ribuan, bahkan puluhan ribu, ‘Noel’ di Indonesia. Keberadaan mereka punya daya rusak tinggi. Program baik dan mahal bisa menjadi buruk dan murahan,” jelasnya.
Wijayanto menutup dengan peringatan keras: “Tidak perlu mengejar koruptor sampai ke Antartika, karena kebanyakan justru ada di ‘antar kita’. Noel harus menjadi alarm bahaya yang segera direspons Presiden, jika tidak bangsa ini bisa celaka.”
Editor :Tim Sigapnews