Kajian Etika Peradaban Universitas Paramadina Bahas Dampak Kebijakan Trump di Asia Tenggara

Universitas Paramadina menggelar Kajian Etika Peradaban ke-36 dengan tema “Isu-isu Politik dan Strategis di Asia Tenggara serta Implikasi Kebijakan AS Era Donald Trump ke Asia”.
Jakarta – Universitas Paramadina bersama PIEC, Yayasan Persada Hati, PGSI, dan Program Studi Falsafah Agama menggelar Kajian Etika Peradaban ke-36 dengan tema “Isu-isu Politik dan Strategis di Asia Tenggara serta Implikasi Kebijakan AS Era Donald Trump ke Asia.”
Diskusi ini berlangsung di Universitas Paramadina Kuningan, Trinity Tower Lt. 45, pada Rabu (5/3/2025), menghadirkan berbagai pakar, termasuk Associate Professor Risa J. Toha dari Wake Forest University, dengan moderator Dr. Herdi Tri Nurwanto.
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza Idris, menegaskan pentingnya kajian akademik terhadap isu global, terutama multilateralisme dalam hubungan internasional.
“Kami menyambut baik kehadiran Mba Risa Toha dalam diskusi ini dan berharap agar diskusi-diskusi yang membangun dapat terus berlangsung ke depannya,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Risa J. Toha menyoroti perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri AS sejak 2016 di bawah kepemimpinan Donald Trump.
“Kebijakan luar negeri AS mengalami pergeseran drastis dari pendekatan multilateral menuju kebijakan yang lebih transaksional,” jelasnya.
Risa juga menggarisbawahi dampak kepemimpinan Trump, termasuk penerapan tarif perdagangan agresif terhadap China, Meksiko, dan Kanada, serta restrukturisasi pemerintahan seperti penutupan USAID.
“Administrasi Trump saat ini cenderung menghindari keterlibatan dalam aliansi multilateral dan lebih memilih hubungan bilateral berbasis kepentingan strategis. Ini berpotensi menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” tambahnya.
Ketua PIEC, Pipip A. Rifai Hasan, mengungkapkan keprihatinannya terhadap minimnya peran Asia Tenggara dalam membangun platform kerja sama politik yang kuat di tingkat global.
“Di Eropa, Kekristenan seringkali menjadi faktor pemersatu dalam membangun kekuatan politik bersama. Sebaliknya, Asia Tenggara begitu plural, baik dari segi budaya, agama, hingga sumber daya alam, sehingga kerja sama politik di kawasan ini lebih kompleks,” ungkapnya.
Pipip juga menyoroti tren otoritarianisme yang meningkat di Asia Tenggara. Ia mencontohkan situasi di Filipina dan Thailand, di mana politik masih didominasi oleh kekuatan lama.
“Jika tidak diantisipasi, kemajuan demokrasi di kawasan ini dapat terancam oleh meningkatnya kecenderungan otoritarianisme,” ujarnya.
Sebagai Direktur PIEC, Pipip menegaskan perlunya strategi yang lebih solid bagi negara-negara Asia Tenggara untuk memperkuat posisi politik mereka di panggung internasional. Upaya ini diharapkan dapat menjadikan kawasan ini lebih berpengaruh dalam menentukan arah politik global di masa depan.
Editor :Tim Sigapnews