Universitas Paramadina dan LP3ES Diskusi, 'Apakah Pengelola Dana Negara Danantara Kebal Hukum?'

Universitas Paramadina bersama LP3ES menggelar diskusi secara Daring.
Jakarta, SigapNews – Universitas Paramadina bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar diskusi daring bertajuk “Apakah Pengelola Dana Negara Danantara Kebal Hukum?” pada Sabtu (1/3/2025) melalui Zoom Meeting.
Diskusi ini membahas aspek regulasi, dampak ekonomi, serta transparansi pengelolaan Danantara sebagai badan pengelola aset negara.
Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, menyoroti perlindungan hukum bagi pengelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Dalam peraturan yang berlaku, menteri dan pegawai organ BUMN tidak dapat dimintai pertanggungjawaban jika tidak ada bukti cukup. Ini menimbulkan kesan bahwa mereka kebal hukum, padahal prinsip good governance menuntut pemisahan jelas antara regulator dan operator," ujarnya.
Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, mengkritisi proses legislasi terkait Danantara yang dinilainya terlalu cepat.
"Saya diminta hadir di DPR, dan hanya dalam dua hingga tiga hari undang-undang ini langsung disahkan. Ini menjadi persoalan besar," tuturnya.
Ia juga menilai asas impunitas dalam Danantara berpotensi merusak kepercayaan publik.
"Business judgment rule dalam Danantara tidak boleh menjadi tameng bagi pelaku korupsi," tegasnya.
Dari perspektif ekonomi, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti kurangnya inovasi dalam kebijakan BUMN.
"Pemerintah kita kurang kreatif dan lebih menghargai administrasi dibanding inovasi. Konsolidasi BUMN sebenarnya sudah lama diinisiasi, tetapi tertunda akibat krisis," ungkapnya.
Wijayanto mengibaratkan BUMN sebagai ‘telur emas’ rakyat yang dikumpulkan dalam satu wadah bernama Danantara, namun transparansinya masih dipertanyakan.
"Skeptisisme publik dan investor terhadap Danantara sangat besar. Dalam 10 tahun terakhir, kita melihat berbagai kasus korupsi yang membuat publik khawatir sejarah kelam ini terulang," tambahnya.
Wijayanto juga menyoroti dampak Danantara terhadap pasar saham.
"Kinerja Jakarta Composite Index (JCI) saat ini terburuk dibanding indeks utama dunia dan Asia. Penurunan harga saham BUMN lebih tajam daripada JCI, di mana kehadiran Danantara diduga menjadi salah satu faktor utama," jelasnya.
Dari sisi hukum, Hadi R. Purnama, Direktur Hukum, HAM, Gender, dan Inklusi Sosial LP3ES, menekankan pentingnya kepastian hukum terkait status Danantara.
"Apakah Danantara merupakan lembaga publik atau privat? Kedua status ini memiliki konsekuensi hukum dan mekanisme pengawasan yang berbeda," ujarnya.
Ia juga mempertanyakan tanggung jawab hukum atas kerugian yang mungkin timbul.
"Bagaimana mungkin aset BUMN dikelola oleh Danantara, tetapi kerugiannya tidak dianggap sebagai kerugian negara?” tanyanya.
Hadi menegaskan perlunya regulasi yang lebih jelas untuk mencegah celah hukum.
"Jika ingin dikelola dengan baik, maka harus dipastikan bahwa Dana Danantara benar-benar digunakan untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi masyarakat,"katanya.
Hadi juga mengingatkan bahwa kebijakan negara harus berpihak pada rakyat. “Usia bangsa ini lebih panjang daripada usia pejabatnya. Kebijakan harus berorientasi jangka panjang demi kepentingan rakyat,” tutupnya.
Diskusi ini menggarisbawahi enam tantangan utama dalam tata kelola Danantara, termasuk ketidakjelasan agenda institusional dan lemahnya penerapan good corporate governance. Sebagai solusi, Wijayanto mengusulkan enam rekomendasi, termasuk transparansi dalam rekrutmen pengurus, seleksi berbasis profesionalisme, serta penguatan tata kelola dan pengawasan internal.
Para narasumber sepakat bahwa Danantara harus dikelola dengan hati-hati agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dan ekonomi di masa mendatang.
Editor :Tim Sigapnews