Herman Tanjung selaku penanggung jawab menjelaskan, aksi tersebut
dilakukan untuk menuntut beberapa hal. Pertama, untuk menghentikan
segala bentuk tindak kriminalisasi dalam penanganan kasus pers terhadap
karya jurnalistik wartawan oleh penegak hukum. Kedua, dalam menangani
sengketa pers, penegak hukum harus mengacu pada Undang-undang No 40
tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
“Penegak hukum di Sumbar harus mengindahkan nota kesepahaman Dewan
Pers dengan Polri dan Kejagung dalam melindungi kemerdekaan pers yang
bertanggung jawab. Penegak hukum harus menyegerakan proses hukum kepada
para tersangka pelaku kriminalisasi terhadap wartawan di sumbar,†pinta
Herman.
Koordinator Aksi, Randi Pangeran mengatakan, aksi ini bertujuan
sebagai bentuk kepedulian dan untuk menegakan UU Pers sebagai payung
hukum pers di Indonesia. “Aksi ini sebagai bentuk kepedulian dari media
dalam jaringan, cetak, elektronik dan Siber tanpa membawa nama
organisasi kewartawanan yang ada. Ini murni personal dari wartawan
tersebut,†tutur Randi.
Senada dengan itu, Ismail Novendra salah seorang yang ikut aksi damai
mengungkapkan berbagai penyesalannya terkait proses penegakan hukum
terhadap pers/wartawan di Sumbar baru-baru ini. Hal itu dijelaskanya
merujuk kepada masalah yang ia alami saat ini. Sebelumnya, Ismail selaku
Pemimpin Umum Media Jejak News dilaporkan ke Polda Sumbar terkait
pemberitaan medianya.
“Laporan dibuat tanggal 7 September 2017. Lalu berselang sehari Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah dikeluarkanâ€, ungkap
Ismail.
Lebih lanjut dikatakanya, jika SPDP seketika dikeluarkan, dirinya
bisa saja jadi tersangka. “Mengapa penyidik Polda tidak lebih dulu
mengacu kepada UU Pers sebagaimana mestinya penyelesaian sengketa pers,
padahal Mmemorandum of Uunderstanding (MoU) antara Dewan Pers dengan TNI
dan Polri Februari 2017 lalu sudah ditandatanganiâ€, papar Ismail.
Salah satu poin dari MoU Dewan Pers dengan TNI dan Polri tersebut,
kata Ismail, pada Pasal 4 ayat 2 menyebutkan Pihak Kedua, apabila
menerima pengaduan dugaan perselisihan/sengketa termasuk surat pembaca
atau opini/kolom antara wartawan/media dengan masyarakat, akan
mengarahkan yang berselisih/bersengketa dan/atau pengadu menggunakan hak
jawab, hak koreksi, pengaduan ke Pihak Kesatu maupun proses perdata.
Menurutnya, persoalan pers diarahkan ke KUHP sepertinya tidak pas.
Karena banyak proses yang seharusnya dilalui terlebih dahulu oleh
penegak hukum. “Sedangkan, sebelum ditetapkan jadi tersangka, saya belum
pernah dipanggil sebagai saksiâ€, tuturnya bermimik kecewa.
Organisasi Pers Wajib Dukung Kebebasan dan Kemerdekaan Pers
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumbar Yal Aziz
mengatakan, para organisasi pers yang ada di negara ini sebaiknya harus
kukuh mendukung kebebasan dan kemerdekaan anggotanya yang tertimpa kasus
hukum pada saat bertugas.
“Kita (SMSI Sumbar), selalu memberikan dukungan kepada seluruh
anggota yang mengalami masalah/sengketa hukum pers. Karena, kemerdekaan
pers harus terjamin sebagaimana sudah disebutkan oleh UU No 40 tahun
1999 tentang persâ€, tegasnya.
Disampaikan Yal Aziz, terkait aksi damai dilaksanakan pada hari oleh
gabungan wartawan seluruh Sumatera Barat, dirinya bersama SMSI Sumbar
mendukung penuh aksi tersebut. Karena, menurutnya organisasi pers wajib
mendukung apa-apa yang akan memerdekakan pers dalam bertugas.
“Sebagai organisasi pers, kami selalu berpartisipasi terhadap aksi
yang akan mendukung terealisasinya kebebasan dan kemerdekaan pers agar
menjadi acuan bagi penegak hukumâ€, jelas Yal Aziz di kantornya.
Sengketa Pers Harus Dikembalikan Kepada UU Pers
Pernyataan tegas juga diutarakan wartawan senior, Yatun SH yang juga
dikenal sebagai lawyer (pengacara) di Sumbar. Dia menekankan agar pihak
penegak hukum harus mengembalikan fungsi UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers seutuhnya. Kebebasan dan kemerdekaan pers sudah diatur oleh
Undang-undang sebagai tolak ukur Hukum tertinggi di negara ini.
“Tentunya, segala persoalan atau persengketaan pers mesti merujuk ke UU
Pers, tak pantas jika di-KUHP kanâ€, tegasnya.
Selain itu, Yatun mengajak aksi damai yang dilaksanakan berjalan
dengan tertib dan taat hukum. “Kita harus tunjukan bahwa pers berunjuk
rasa sangat menghargai hukum sebagaimana fungsinya menjadi corong
rakyatâ€, ujarnya.
Dia berpesan kepada pihak penegak hukum harus hargai tugas wartawan
yang berperan penting terhadap kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
“Jika pers dengan mudah di-KUHP kan, lalu siapa lagi yang akan
mengkritisi atau menjalankan fungsi kontrol sosial yang sesungguhnya.
Alhasil, kemungkinan apa-apa saja bisa bungkam dan tidak transparan lagi
bila kebebasan dan kemerdekaan pers tidak mendapat dukungan dari
penegak hukum sesuai Undang-undangâ€, jelas Yatun menghimbau.
Meskipun begitu, lanjut Yatun, para wartawan dalam bertugas tetap
dalam kode etik yang sudah diatur agar pers Indonesia dapat mengedukasi,
mengaspirasi dan menginformasikan secara berimbang kepada masyarakat.
(*)