Oleh: Rahman Bukti, Pemerhati Keadilan Finansial
Suara Rakyat Melawan Sistem Yang Adil

Rahman Bukti Pemerhati Keadilan Finansial
Pekanbaru, sigapnews.co.id
– Ribuan rumah di negeri ini tengah terancam lelang.
Bukan karena pemiliknya tak bertanggung jawab, tetapi karena sistem hukum dan perbankan kerap terlalu kaku dalam menilai ketidakmampuan membayar sebagai kesalahan mutlak.
Di balik setiap pintu rumah yang nyaris disita, tersimpan cerita pilu yang tak banyak terdengar: tentang perjuangan, air mata, dan harapan yang nyaris padam.
Sebuah rumah bukan sekadar bangunan berdinding dan beratap. Rumah adalah tempat pertama anak-anak belajar mengeja harapan, tempat keluarga menampung suka duka hidup, dan tempat berlindung di tengah badai kehidupan. Sayangnya, rumah-rumah itu kini menjadi objek lelang dingin karena satu hal: kredit macet.
Di mata sistem, semuanya hitam-putih. Tetapi di mata rakyat kecil, hidup tidak sesederhana pasal dan angka.
Siapakah mereka yang terdampak?
Bukan koruptor atau pengemplang pajak. Mereka adalah buruh pabrik, petani kecil yang gagal panen, pedagang yang kehilangan pasar karena pandemi, sopir angkot yang kalah bersaing dengan teknologi, atau guru honorer yang gajinya bahkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Mereka mengambil pinjaman dengan itikad baik dan harapan besar. Tapi saat badai datang, mereka tersudut dan sistem hukum nyaris tak memberi ruang untuk bernapas.
“Kami tidak menolak membayar utang, keluh seorang Debitur, kami hanya ingin diberi waktu dan dimanusiakan.”
Pernyataan itu menjadi cermin dari keresahan kolektif.
Banyak Debitur bahkan tidak tahu hak-hak mereka.
Tidak tahu bahwa restrukturisasi pinjaman bisa diajukan.
Tidak tahu bahwa penyitaan harus melalui proses hukum, bukan intimidasi.
Tidak tahu ke mana harus mengadu ketika Debt Collector datang dengan cara preman, atau berpura-pura menjadi petugas hukum.
Dalam kondisi seperti ini, ke mana rakyat harus berpaling?
Sistem berkata:
"Ini perjanjian sah. Jika tak mampu bayar, rumah harus kami ambil.”
Tapi siapa yang akan mendengar suara seorang ibu yang rumahnya hendak disita, padahal di dalamnya tinggal anak-anaknya yang masih sekolah? Siapa yang akan peduli pada sopir harian yang terpaksa berhenti bekerja karena kecelakaan, lalu cicilannya menunggak?
Inilah sebabnya suara rakyat harus menggema. Bukan untuk melawan hukum, tapi untuk mengingatkan sistem bahwa keadilan bukan hanya milik mereka yang kuat secara finansial. Rakyat tidak menolak aturan, tetapi menolak ketidakadilan yang dibungkus dengan legalitas.
Rakyat kecil bukan kriminal.
Mereka adalah orang-orang jujur yang tetap bekerja, tetap berharap, dan tetap berjuang meski dirundung kesulitan. Mereka adalah pejuang kehidupan yang hanya ingin tetap tinggal di rumah yang mereka cicil dengan keringat.
Tapi sistem perbankan lebih sering menghitung bunga dan denda, daripada niat baik dan kerja keras.
Haruskah setiap keterlambatan cicilan dibalas dengan ancaman penyitaan? Apakah hukum hanya menjadi alat pemukul bagi yang lemah?
Tidak. Justru di sinilah peran penting solidaritas masyarakat dan kesadaran hukum harus dibangkitkan.
Ketika satu suara terdengar, mungkin bisa diabaikan.
Tapi jika seribu suara bersatu, sistem tidak akan punya pilihan selain mendengar. Rakyat harus tahu hak-haknya. Bahwa ada prosedur hukum yang harus dijalani sebelum penyitaan dilakukan. Bahwa Debt Collector tidak bisa bertindak semaunya.
Bahwa ada jalur resmi, ada waktu yang bisa diminta, dan ada ruang untuk negosiasi secara manusiawi.
Kita perlu lebih dari sekadar belas kasihan. Kita butuh keadilan yang berpihak.
YbKarena hukum bukan sekadar kumpulan pasal, tapi juga nurani yang harus hidup di tengah masyarakat.
Tulisan ini adalah upaya kecil untuk menjadi corong suara-suara yang selama ini tak terdengar. Suara rakyat bukan bisikan yang bisa diabaikan, melainkan panggilan hati yang tak bisa dibungkam.
Setiap cerita adalah saksi perjuangan.
Setiap rumah adalah bukti nyata bahwa manusia bukan sekadar angka kredit, melainkan jiwa yang layak diperjuangkan.
Mari bersama kita perjuangkan hak untuk bertahan hidup secara bermartabat.
Mari kita gunakan pengetahuan hukum sebagai senjata, bukan kemarahan.
Karena melawan ketidakadilan bukan berarti melawan hukum, tetapi menghidupkan kembali semangat keadilan sejati.
Saatnya rakyat sadar, bersatu, dan bersuara. Karena suara rakyat tidak akan pernah padam, selama masih ada yang percaya bahwa keadilan harus diperjuangkan, bukan hanya dibicarakan.
Editor :Rahman
Source : Opini Rahman