Ibadah Haji, Makna Historis dan Komitmen Kemanusiaan

Munawir Mattareng
Mengapa untuk memanjatkan doa kepada Tuhan saja mesti pergi jauh-jauh ke Mekkah di Arab Saudi dengan ongkos yang cenderung naik dari tahun ke tahun? Apakah kalau kita berdoa di tanah air, Tuhan tidak mendengarnya? Tentu saja semua orang yang beriman meyakini bahwa di mana pun dan kapan pun kita berdoa, Tuhan pasti mendengarkan baik berdoa dengan berbisik-bisik maupun dengan suara keras. Namun, karena ajaran formal agama Islam menetapkan bahwa haji haruslah dilaksanakan di wilayah Tanah Suci Makkah dan waktunya pun telah ditentukan, maka dewasa ini setiap tahun sekitar jutaan orang umat islam memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji, mengikuti jejak Nabi Ibrahim A.S.
Secara historis ibadah haji sebagai rukun islam yang ke lima mulai diwajibkan oleh Allah SWT pada tahun 4 hijri (625 M). Allah menetapkan bahwa syariat haji dari Nabi Ibrahim AS wajib dilaksanakan umat islam dengan turunnya ayat Al-Qur’an : “Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan kesana. Barang siapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam†(Ali Imran 97).
Makna Prosesi Haji
Setelah menetapkan niat dalam hati, rangkaian ibadah haji secara lahiriah diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari, diganti menggunakan pakaian ihram, yaitu kain putih yang amat sederhana. Secara psikologis, pakaian keseharian kita merupakan refleksi keakuan serta simbol status sosial. Ketika menghadap Tuhan pakaian artificial ini kita lepaskan. Begitu siap dengan pakaian ihram, jemaah haji lalu membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Tuhan. Suasanan batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku-Engkauâ€, pikiran, perasaan, ucapan, dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah.
Ketika memakai pakaian ihram, seseorang tidak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh becermin, tidak boleh membunuh hewan, tidak merusak pepohonan, tidak juga melakukan hubungan seksual. Pakaian dan status sosial yang begitu lama melekat pada seseorang secara psikologis dapat melahirkan kekuatan imperialisme. Sebuah kekuatan yang menjajah keakuan seseorang yang polos dan mulia bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki derajat yang sama. Bahwa pakaian dan jabatan hanyalah tempelan yang setiap saat bisa lepas atau dilepas. Singkatnya, berbagai nafsu egoistik ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan ibadah mendekati Sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi tangguh, Upaya mendekat, bahkan memeluk Tuhan ini, lalu secara simbolik diperagakan dalam thawaf, yaitu berputar mengeliling ka’bah. Batu hitam (hajar aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan thawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulur menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke Baitullah.
Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung akhirat yang berada ‘di seberang sana’. Dengan menjabat tangan Tuhan, seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kekayaan, kepintaran, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga, semuanya akan bermakna selama mendekatkan pemiliknya untuk berbuat kebajikan sebagai manifestasi rasa syukur atas segala rahmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya.
Wuquf (berdiam diri secara khusyuk) di Arafah, yang merupakan puncak ibadah haji, tak lain adalah semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan Sang Pencipta dan alam semesta. Dengan wuquf, diharapkan seorang Muslim mendapatkan makrifat sehingga ketika kembali ke tanah air masing-masing. Telah lahir manusia baru yang penuh kearifan hidup.
Haji dan Komitmen Kemanusiaan
Demikianlah, di samping prosesi ibadah haji merupakan kewajiban agama untuk dipenuhi, sesungguhnya di balik ritual haji yang sarat simbolik itu tersimpan banyak sekali pesan kemanusiaan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara esensial dan fungsional, berbagai pesan dan sasaran ibadah haji ialah agar kita menang dalam menundukkan hawa nafsu dalam pergulatan hidup sehari-hari sehingga meraih makna dan prestasi hidup yang sejati.
Salah satu pesan ibadah haji ialah agar seorang Muslim menumbuhkan etos pengorbanan. Itulah sebabnya hari raya haji disebut sebagai Hari Raya Kurban (Idul Adha). Terdapat petunjuk yang begitu kuat bahwa masyarakat kita dilanda krisis semangat pengorbanan. Sebaliknya, yang ada adalah semangat untuk mengambil yang bukan hak miliknya, bukan semangat untuk memberi.
Figur utama dalam sejarah ibadah haji adalah Nabi Ibrahim A.S. secara dramatis Nabi Ibrahim memberikan contoh bahwa pengorbanan yang pertama dilakukan ialah membunuh berhala, dalam bentuk mencintai anaknya sendiri. Jangan sampai cinta kepada anak menutupi hatinya untuk mencintai Tuhan dan sesama manusia. Bukankah cukup banyak contoh bahwa mencintai anak secara berlebihan, membuat rasa keadilan dan kemanusiaan cenderung tumpul? Berapa banyak hak milik orang lain diambil secara tidak sah oleh orang yang sedang memegang kekuasaan karena didorong oleh cinta kepada anak secara tidak proporsional. Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya mengandung pesan pembebasan dari perilaku korup dan serakah.
Untuk meraih kembali kesadaran eksistensi kemanusiaan, seorang Muslm diwajibkan pergi haji, meninggalkan rumah dan segala pekerjaan serta status sosialnya agar terbebaskan dari sifat-sifat individual, untuk ini, ibadah haji diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari, pakaian dlam arti yang lebih dalam dan luas,
Ketika seseorang memulai prosesi ibadah haji, egoisme dan berbagai kesadaran palsu harus dikubur, lalu ditumbuhkan pada dirinya kesadaran baru, yaitu penghayatan akan makna kemanusiaan universal. Mereka datang dengan niat yang sama dan status yang sama. Tak ada yang lebih unggul di mata Allah dari yang lain, kecuali karena kualitas ketaqwaannya.
Oleh karena itu, ibadah haji secara psikologis merupakan jalan dalam rangka menemukan makna dan kualitas hidup yang lebih sejati, yaitu matinya kesadaran palsu dan sifat-sifat negative yang antara lain ditimbulkan oleh prestasi duniawi yang memabukkan dan cenderung merendahkan harkat kemanusiaannya.
Semoga keluarga kita yang berngkat haji tahun ini diberi kesehatan dan kelancaran dalam beribadah, hingga kembali ke tanah air dengan selamat dan menjadi pribadi yang mulia. (***)
Editor :Tim Sigapnews