Dibalik Inisial ''M'', Muflihun dan Kuasa Hukumnya Beberkan Pejabat Terlibat SPPD Fiktif

Mantan Pj Wali Kota Pekanbaru, Muflihun,konfrensi pers pada Kamis, (19/6/2025), menanggapi polemik penyebutan inisial “M” dalam kasus dugaan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif DPRD Riau.
PEKANBARU - Mantan Pj Wali Kota Pekanbaru, Muflihun, akhirnya buka suara pada Kamis, (19/6/2025), menanggapi polemik penyebutan inisial “M” dalam kasus dugaan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif DPRD Riau yang tengah diselidiki Polda Riau dan telah menyeret satu tersangka.
Uun panggilan Muflihun menegaskan dirinya tidak memiliki kewenangan teknis terkait pencairan anggaran dan merasa dirugikan atas spekulasi yang mengaitkan namanya.
Penyebutan inisial “M” dalam kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif di lingkungan DPRD Riau memicu reaksi keras dari Muflihun.
Mantan Sekwan DPRD Riau ini menilai tudingan tersebut tidak adil dan berpotensi mencemarkan nama baiknya, terlebih status hukumnya belum pernah ditetapkan sebagai tersangka.
“Itu hanya istilah, pengguna anggaran. Tapi bukan berarti saya yang menggunakan anggaran. Jadi jangan salah tafsir,” ujar Muflihun.
Muflihun mengakui dirinya menandatangani sejumlah berkas selama menjabat sebagai Sekretaris DPRD Riau, termasuk mengeluarkan Surat Keputusan (SK) penunjukan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Namun, ia menegaskan tidak pernah terlibat dalam pencairan langsung anggaran kegiatan.
“Saya tidak pernah mencairkan uang. Dalam teknisnya ada PPTK, Kabag Keuangan, dan Bendahara. Masa PPTK tidak tahu berapa uang yang keluar?” ucapnya heran.
Pernyataan serupa disampaikan kuasa hukumnya, Ahmad Yusuf, SH dari AYLawyers. Ia membantah keras dugaan keterlibatan kliennya dalam kasus yang kini menjadi sorotan publik tersebut.
“Klien kami sangat dirugikan oleh penyebutan inisial yang secara sembrono dikaitkan dengan nama beliau, padahal tidak pernah menerima surat penetapan tersangka,” tegas Yusuf.
Menurut Yusuf, seluruh kewenangan teknis dan administratif dalam pelaksanaan SPPD berada di tangan PPTK, bendahara, dan pejabat lainnya.
Ia memastikan tidak ada satu pun bukti yang mengaitkan Muflihun dengan perintah perjalanan fiktif yang menjadi pokok perkara.
“Tidak ada keterlibatan aktif maupun pasif. Bahkan verifikasi dan pelaporan bukan ranah beliau,” katanya.
Sebagai bentuk klarifikasi, pihaknya akan merilis video resmi berisi pernyataan langsung Muflihun ke publik dan penyidik, untuk menjelaskan posisinya secara terbuka.
“Kami akan bongkar bahwa ini bentuk kriminalisasi. Jika penetapan tersangka tetap dipaksakan, kami siap mengajukan gugatan praperadilan, ke PTUN, hingga melapor ke PROPAM dan Kompolnas,” tandas Yusuf.
Tak hanya itu, pihaknya juga telah mengajukan permohonan perlindungan hukum ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), guna menjamin keamanan hukum dan psikologis Muflihun selama proses berlangsung.
Ahmad Yusuf menutup pernyataannya dengan seruan kepada aparat penegak hukum agar tetap menjaga objektivitas dan tidak menjadikan hukum sebagai alat tekanan politik.
“Kami akan melawan setiap bentuk kriminalisasi. Hukum harus adil dan tidak digunakan untuk pembunuhan karakter,” tegasnya.
Kasus dugaan SPPD fiktif DPRD Riau kini tak hanya bergulir di ranah hukum, tetapi juga memicu sorotan publik terhadap prinsip keadilan dan asas praduga tak bersalah.
Langkah hukum Muflihun melalui tim kuasa hukumnya menjadi babak lanjutan yang patut diawasi, agar tidak ada satu pun pihak yang dikorbankan tanpa dasar hukum yang sah. Redaksi Sigapnews akan terus memantau perkembangan kasus ini secara profesional dan berimbang.
Editor :Tim Sigapnews