Universitas Paramadina Gelar Diskusi Internasional Soal Keadilan Akses Ruang Angkasa
Indonesia–India Perkuat Diplomasi Antariksa: Akses Satelit Harus Adil untuk Semua
JAKARTA — Suasana lantai 45 Trinity Tower, kampus Universitas Paramadina, Jumat (7/11/2025), dipenuhi perbincangan hangat lintas negara. Para diplomat, akademisi, dan praktisi teknologi antariksa dari Indonesia dan India berkumpul membahas isu strategis bertajuk “Equitable Access to Space and Satellite” — sebuah topik yang menyoroti kesenjangan akses terhadap teknologi ruang angkasa di kawasan Asia.
Diskusi publik ini digelar oleh Paramadina Graduate School of Diplomacy bekerja sama dengan Indian Space Association (ISpA) dan South ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC). Forum tersebut menegaskan perlunya kolaborasi antarnegara untuk memastikan teknologi antariksa dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Mutu dan Kerja Sama Universitas Paramadina, Prof. Dr. Iin Mayasari, menegaskan bahwa ruang angkasa kini telah menjadi “domain strategis kelima” setelah darat, laut, udara, dan siber.
“Dulu kita hanya berbicara soal udara, darat, dan laut. Kini, ruang angkasa menjadi domain kelima yang menentukan kedaulatan dan keselamatan nasional,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pengelolaan ruang angkasa harus dilakukan secara kolaboratif agar manfaatnya dapat dirasakan seluruh umat manusia, bukan hanya sebagai simbol prestise teknologi.
Dari pihak SAIAC, Shaanti Shamdasani, Presiden sekaligus pendiri ThinkGroup Asia, mengingatkan bahwa literasi publik tentang ruang angkasa masih sangat rendah. “Ketika kita bicara transformasi digital, sesungguhnya kita sedang bicara tentang ketergantungan pada satelit dan spektrum orbit,” ujarnya.
Ia menyerukan agar kesenjangan antara negara maju dan berkembang diatasi lewat kerja sama internasional yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan.
Sementara itu, Lt. Gen. A.K. Bhatt, Direktur Jenderal ISpA, membagikan pengalaman India dalam membangun program antariksa nasional yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
“Fokus kami sederhana: bagaimana teknologi antariksa dapat membantu kehidupan masyarakat, bukan sekadar mencapai planet lain,” ungkapnya. Ia menambahkan, keberhasilan India mendaratkan wahana di kutub selatan bulan adalah bukti bahwa keterbatasan sumber daya bukan penghalang bagi inovasi.
Dari sisi media, Shantanu K. Bansal, pendiri Indian Aerospace and Defence News (IADN), menyoroti pentingnya jurnalisme berbasis data untuk meningkatkan literasi sains publik terhadap isu luar angkasa.
Sementara dari Indonesia, Prof. Dr. Erna Sri Adiningsih, Direktur Eksekutif Indonesian Space Agency (INASA)–BRIN, menekankan urgensi penanganan sampah antariksa (space debris) dan pentingnya space situational awareness. “Aktivitas manusia di luar angkasa semakin padat. Keberlanjutan akses ruang angkasa adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya mengingatkan.
Diskusi ditutup oleh Wachid Ridwan, Sekretaris Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, yang menegaskan perlunya tata kelola ruang angkasa berbasis etika dan kemanusiaan.
“Ruang angkasa adalah warisan bersama umat manusia the province of all mankind. Diplomasi yang adil dan kolaboratif adalah keharusan,” katanya.
Editor :Tim Sigapnews