Korupsi
Kini KPK Bidik Korporasi Perkebunan Nakal

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memberikan keterangan pers terkait
OTT di gedung KPK, Jakarta, 2 Agustus 2017.(Photo: ANTARA)
Kebijakan ini sesuai dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang akan memberikan sanksi tegas kepada perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Insdustri (IUPHHK-HTI) yang tidak memenuhi regulasi tata kelola gambut.
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarief mengatakan KPK akan menyoroti pengelolaan sumber daya alam yang tumbang tindih.
“Baik tumpang tindih perizinan maupun izin dengan status non clean and clear,†ujarnya ketika diliris Tempo seusai mengisi Kuliah Umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Selasa 8 Agustus 2017.
Laode juga menjelaskan, KPK saat ini sedang melakukan pelatihan bersama dengan KLHK, Polisi, Kejaksaan dan instansi terkait untuk menindaklanjuti cara memburu korporasi perkebunan yang nakal dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan tersebut.
"Kami tegaskan, korporasi adalah buruan kami,†katanya.
Dilain tempat, Direktur Lingkungan Hidup Indonesia wilayah Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, mengatakan diliris Tempo bahwa KPK selain memburu korporasi perkebunan nakal, juga harus mengawasi penegak hukum maupun pengadilan yang sedang memproses korporasi tersebut. “Karena ada potensi suap dari korporasi,†ujar Laode.
Hadi Jatmiko menjelaskan, tahun 2015 Walhi mendapati 41 perusahaan perkebunan dan 16 perusahaan HPH/HTI yang didalamnya terjadi kebakaran.
“Namun sampai saat ini tidak satupun yang dibawa ke pidana oleh aparat,†lanjutnya.
Hadi Jatmiko juga mencontohkan salah satu perusahaan besar yang tidak berani ditindak pemerintah, salah satunya PT Bumi Mekar Hijau di Kabupaten Ogan Komering Ilir anak perusahaan perkebunan kayu Asia Pulp and Paper yang telah merugikan negara saat kebakaran besar tahun 2015 hingga Rp 7,9 miliar.
“Penyebab pejabat dan penegak hukum tidak berani menjerat korporasi karena merekalah yang memberikan izin di lahan gambut, bila didalami permasalahannya bisa menjerat mereka sendiri†katan Hadi.
Atas hal tersebut, Hadi meminta presiden supaya kasus lingkungan di Indonesia ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa.
“Pengusutan kasus lingkungan jangan setengah hati,†ujarnya. Itu sebabnya KPK turun tangan.
33 Perusahaan Sawit Dilaporkan
Koalisi Rakyat Riau (KRR) melaporkan 33 perusahaan perkebunan kelapa sawit ke Kepolisian Daerah Riau atas tuduhan penggunaan hutan dan lahan tanpa izin.
Perusahaan itu diduga membangun perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan yang merugikan negara mencapai Rp 2,5 triliun.
"Ada dua dugaan pelanggaran aturan pemerintah, yakni Undang-Undang Perkebunan dan Undang-Undang Pencegahan Kerusakan Lingkungan," kata Koordinator Koalisi Rakyat Riau Fachri Yasin.
Fachri menyebutkan, berdasarkan hasil laporan Panitia Khusus Monitoring Lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau, terdapat 33 korporasi yang telah membangun perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan seluas 103.320 hektare.
Selain itu, ditemukan penanaman kelapa sawit tanpa izin hak guna usaha (HGU) seluas 203.977 hektare. Berdasarkan hasil analisis, kata dia, akibat pelanggaran itu, negara dirugikan hingga Rp 2,5 triliun.
"Laporan ini sebagai bentuk komitmen kami mengawal hasil Pansus Monitoring dan evaluasi perizinan DPRD Riau," ucapnya.
Menurut Fachri, laporan ini merupakan langkah awal dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan di Riau.
Setelah ini, kata dia, KRR bakal kembali melaporkan perusahaan lain atas tindak pelanggaran hukum, seperti korupsi kehutanan.
"Perkembangan dari analisis yang kami lakukan menunjukkan banyak indikasi terjadinya tindak pidana korupsi di sektor kehutanan dan perkebunan," tuturnya.
KRR berharap Kepala Polda Riau Inspektur Jenderal Zulkarnain beserta jajarannya segera menindaklanjuti dugaan tindak pidana penggunaan kawasan hutan dan lahan secara ilegal.
Fachri mengaku akan menembuskan laporan ini ke berbagai lembaga penegak hukum lain, seperti Mabes Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Kepolisian Nasional sebagai kontrol atas laporan 33 perusahaan tersebut.
Sebelumnya, Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman mengaku sudah mendengar laporan Pansus Monitoring Lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau ihwal adanya perusahaan kelapa sawit tidak berizin dan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak.
"Soal kebun tak berizin ini sudah ada datanya di KPK," ujar Arsyadjuliandi Rachman.
Andi sapaannya mengatakan persoalan tersebut tengah diselesaikan bersama-sama oleh pemerintah Riau melalui Dinas Pendapatan Daerah Riau, kejaksaan, kepolisian, dan KPK.
Andi mengatakan Riau sudah mendapat pendampingan dari KPK melalui Koordinasi Supervisi Sumber Daya Alam untuk menyelesaikan persoalan perusahaan yang tidak berizin dan tidak taat pajak.
Namun sejauh ini Andi belum mengetahui sampai tahap mana perkembangannya. "Nanti kami akan tindak lanjuti lagi," ucapnya.
Persoalan ini mengemuka saat Pansus yang digawangi Komisi A DPRD Riau melaporkan sejumlah temuan mereka ke Tim Pencegahan KPK saat komisi antirasuah tersebut berkunjung ke Riau pada Agustus 2016.
Perusahaan yang dilaporkan tersebut adalah PT Hutaean, PT Arya Rama Prakasa, PT Aditya Palma Nusantara, PT Air Jernih, PT Eluan Mahkota, PT Egasusti Nasakti, PT Inti Kamparindo, PT Johan Sentosa, PT Sewangi Sawit Sejahtera, dan PT Surya Brata Sena.
Lalu PT Peputra Supra Jaya, PT Inecda Plantation, PT Ganda Hera Hendana, PT Mekarsari Alam Lestari, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Salim Ivomas Pratama, PT Cibaliung Tunggal Plantation, PT Kencana Amal Tani, dan PT Karisma Riau Sentosa.
Kemudian PT Seko Indah, PT Panca Agro Lestari, PT Siberida Subur, PT Palma Satu, PT Banyu Bening Utama, PT Duta Palma Nusantara, PT Cerenti Subur, PT Wana Jingga Timur, PT Perkebunan Nusantara V, PT Marita Makmur, PT Fortius Agro Wisata, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idama Nusa, dan PT Bumi Palma Lestari Persada.(*)
Editor :Tim Sigapnews