Konflik PT SHM dengan Warga Kemuning
Legislator Inhil Sebut PT SHM di Kemuning Bagaikan Hantu

Sekretaris Komisi I DPRD Inhil Inhil Muammar Armain, S. Sos., M. Si
Menyikapi konflik tersebut, Komisi I DPRD Inhil beserta rombongan sambangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat di Gedung Manggala Wanabakti Wing B Blok IV Lantai 4 Jalan Jend. Gatot Subroto, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sekretaris Komisi I Muammar Armain menuturkan, berawal dari izin menhut No 378 bahwa keberadaan izin PT SHM ini memang tidak ada rekomendasi dari bawah bahkan masyarakat desa tidak pernah tahu dari 4 desa ini izin PT SHM di 4 desa tersebut sebanyak 20.000 Ha dan tidak pernah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat yang memiliki 2000 kepala Keluarga (KK) dari 4 desa tersebut bahwa ini adalah izin kehutanan.
Lebih lanjut Muammar Armain, Politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa itu mengatakan bahwa keberadaan PT SHM ini tidak pernah mendapatkan izin ataupun rekomendasi dari pihak kecamatan maupun pemerintah Kabupaten Inhil, dan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, tersebu merupakan desa induk.
Sudah tahun tahun 2008 izin PT SHM ini dikeluarkan yang namanya kantor, pengelolaan, basecamp dan siapapun manusianya tidak ada. Kemudian sewaktu-waktu ada tonggak pemberitahuan dengan teks 'ini milik PT SHM' apalagi dalam bahasa kami itu yang namanya menebang kayu juga tidak ada satupun kegiatan, semenjak tahun 2008, dan 30 hingga 35 persen itu lahan gambut selebihnya mineral terdapat perkebunan sawit dan kelapa.
"Bahkan lebih dulu aktivitas masyarakat seperti bermukim dan berkebun di sana baru izin ini keluar, kemudian sewaktu-waktu PT SHM ini datang dan pergi, sehingga masyarakat resah dan merasa PT SHM ini seperti hantu yang selalu membuat masyarakat resah," tutur Muammar Armain.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Irmansyah mengatakan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan dalam rangka untuk hidup dan mendapatkan lahan usaha itu diberikan akses di dalam kawasan hutan.
Kalau mereka sudah terlanjur "masyarakat tapi yo" kata Irmansyah Putra melayu Jambi itu menjelaskan. Adapun masyarakat tersebut yakni masyarakat yang tidak mampu atau prasejahtera yang berhak mendapatkan akses legal akan di payungi dengan hukum permen 83 maka jika sudah terlanjur kita legalkan namun bukan untuk masyarakat yang mapan dan untuk kebutuhan investasi perluasan usaha.
Lebih lanjut Irmansyah Menjelaskan, jika seluruh tanah tersebut merupakan konsensi pemegang izin, ini skema kemitraan sejajar bukan antara atasan dan bawahan namun jika diluar konsensi bisa hutan desa, hutan Kemasyarakatan dan Hutan sosial.
"Inilah opsi yang di sebabkan oleh konflik atu kleam masyarakat terhadap perusahaan. Namun jika untuk menuntut pencabutan izin bukan kesini dan bukan kesaya" jelas Irmansyah.
"Tapi desa ini, Fasilitas Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos) lebih dulu dari izin ini keluar kemudian masuk dalam kawasan hutan pak" sahut Camat Kemuning Azwizarmi SH.
"Lho jadi, kalau Desa itu masuk kawasan hutan, fasum dan Fasosnya juga maka ini pendekatanya adalah Tora (Tanah Objek Reforma Agraria) sesuai perpres 88 tahun 2017" jelas Irmansyah.
Nanti bapak laporkan kepada Bupati. Kemudian Bupati mengusulkan kepada tim percepatan penyelesaian sengketa tanah dalam kawasan hutan dan menyurati Gubernur bagaimana untuk fasum, Fasos dan pemukiman masyarakat itu di jadikan tora.
"Sementara untuk penyelesaian konflik lahan garapan masyarakat dengan perusahaan, segera laporkan ke Kementrian boleh melalui pak ketua komisi I atau kelompok tani juga bisa, supaya menjadi lahan sosial sesuai permenhut No 83," tegas Irmansyah.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Hj Bunga Tang anggota Komisi I DPRD Inhil, M Kautsar Anggota Komisi I DPRD Inhil, Mahroni Ketua Asosiasi Kepala Desa (APDESI) Provinsi Riau dan H Khairuddin dari tokoh masyarakat kemuning.
Liputan : Defri Andi
Editor : Defri Andi
Editor :Tim Sigapnews