Alexander Pranoto Gugat Mantan Wagub Riau, Tuntut Hibah Tanah 3 Hektar Dikembalikan

Alexander Pranoto dan PH. Dok foto (Red)
SIGAPNEWS.CO.ID | JAKARTA – Kasus hibah tanah antara pengusaha Alexander Pranoto dan mantan Wakil Gubernur Riau, Edy Nasution, kini menjadi sorotan publik. Persoalan ini tidak hanya menyangkut kepastian hukum, tetapi juga menyentuh ranah etika pejabat negara dan dugaan gratifikasi.
Alexander pernah menghibahkan lahan seluas 3 hektar kepada Edy Nasution dengan niat mulia: membangun sebuah pesantren. Namun, bertahun-tahun berlalu, pesantren yang dijanjikan tak kunjung berdiri. Merasa dikhianati, Alexander menuntut tanah itu dikembalikan.
Pertanyaan pun menyeruak: apakah langkah Alexander sah secara hukum?
Dalam tinjauan hukum perdata, hibah memang bersifat final dan tak bisa ditarik kembali. Namun ada pengecualian: jika syarat hibah dilanggar. Pasal 1688 KUH Perdata menyebutkan, hibah dapat dibatalkan jika penerima tidak memenuhi syarat yang ditentukan penghibah. Alexander merasa syarat itu jelas—tanah untuk pesantren—dan karena tak dipenuhi, ia menilai haknya untuk menuntut kembali.
Dari sisi hukum agraria, sertifikat tanah memang menjadi bukti kuat kepemilikan. Namun dasar peralihan bisa dianggap cacat hukum bila syarat tidak dijalankan, yang berarti sertifikat pun bisa dibatalkan lewat pengadilan.
Tak berhenti di situ, pandangan hukum Islam juga menjadi rujukan. Umumnya hibah tidak dapat ditarik, tetapi sejumlah mazhab membuka peluang jika tujuan akad dilanggar. Kaidah fiqh menegaskan: Al-muslimun ‘ala syuruthihim—kaum Muslimin terikat pada syarat yang mereka sepakati. Jika tujuan pesantren tak terwujud, maka hibah batal demi hukum syariah.
Namun dimensi yang paling sensitif justru ada pada hukum publik. Hibah kepada seorang pejabat negara bernilai besar bisa masuk kategori gratifikasi. Menurut UU Tipikor, setiap pemberian kepada pejabat publik wajib dilaporkan ke KPK. Jika tidak, hibah dapat dianggap suap terselubung.
Meski pemberi hibah tidak otomatis dipidana, pemberian tanah kepada pejabat tanpa transparansi tetap menimbulkan konflik kepentingan. Dari sisi etika, hal ini mencederai integritas pejabat publik.
Kasus ini pun menyeret dua isu besar sekaligus: sah tidaknya penarikan hibah secara hukum, dan pantas tidaknya pejabat publik menerima hibah bernilai miliaran tanpa mekanisme resmi.
“Alexander berhak menuntut kembali tanah tersebut, baik dari aspek perdata, agraria, maupun syariah. Bahkan, dari sisi etika publik, kasus ini membuka mata kita terhadap praktik hibah pribadi kepada pejabat,” ujar Rival Achmad Labbaika, Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI), yang mengamati kasus ini.
Kini, bola panas berada di tangan pengadilan dan lembaga penegak hukum. Apakah tanah hibah itu benar-benar bisa kembali kepada Alexander, atau justru membuka tabir lebih dalam soal praktik gratifikasi di kalangan pejabat daerah?
Editor :Tim Sigapnews