Langka dan Mahalnya Minyak Goreng

Harga minyak goreng pemerintah dengan merek MinyaKita sudah jauh melambung di atas Rp 14.000 per liter. foto detik.com
Kelangkaan minyak kembali terjadi, justru pada produk yang diadakan untuk menekan harga minyak itu sendiri. Harga minyak goreng pemerintah dengan merek MinyaKita sudah jauh melambung di atas Rp 14.000 per liter. Barangnya pun susah didapat alias langka. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan memastikan suplai MinyaKita sebanyak 450.000 ton perbulan dan hanya akan tersedia di pasar tradisional, tidak lagi disebar di retail ataupun marketplace (e-commers) alias tidak boleh dijual online.
Langkah ini diambil untuk mengantisipasi kelangkaan minyak goreng yang sudah berlangsung beberapa tahun terakhir yang sangat menyusahkan rakyat dan mengundang polemik di berbagai lapisan masyarakat.
Mulai dari harganya tinggi karena diklaim harga CPO sedang naik. Namun, ketika harga CPO sudah turun harga minyak goreng masih saja tinggi dan langka. Sedangkan posisi petani sawit justru memilukan, harga TBS (Tandan buah sawit) segar fluktiatif, bahkan terjun menyentuh harga terendah. Kebijakan larangan ekspor justru merugikan petani, minyak goreng pun tetap langka dan harganya pun masih tinggi di pasaran.
Realita ini sangat tidak wajar karena Indonesia dikenal sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Namun, harga minyak goreng justru mahal bahkan langka di masyarakat. Hal ini mengisyaratkan ada praktik kartel kongkalingkong antara pengusaha dan produsen minyak kelapa sawit. Anehnya sekalipun praktik kartel telah diketahui, sanksi hukum tidak tegas menindak mereka, seolah sangat licin untuk ditangkap.
Hal ini menggambarkan adanya kesalahan pengelolaan pemenuhan salah satu kebutuhan rakyat. Meskipun telah dibuat kebijakan, selama kapitalisme masih menjadi asas, maka kebijakan tersebut tak akan mungkin memecahkan persoalan. Para pengusaha menjadikan keuntungan sebagai tujuan sehingga tak mungkin ‘bersedia’ memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang murah.
Sistem kapitalisme membuat para pemilik modal menjadi penguasa sesungguhnya. Negara tidak memiliki kekuatan berhadapan dengan para pemilik modal sehingga negara tidak bisa menindak tegas para oknum kartel. Solusi yang diambil justru pragmatis yang menyengsarakan rakyat, seperti pembatasan pembelian minyak, membeli minyak dengan KTP dengan alasan agar tidak memborong, bahkan akan diberi sanksi jika ada yang melanggar. Sungguh, ini adalah nestapa masyarakat yang hidup dalam sistem kapitalisme. Negara yang seharusnya mengurus rakyat justru hanya sebagai regulator kebijakan yang tunduk pada para pemilik modal.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan negara sebagai raa’in, yaitu pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Kebijakan yang dibuat pun untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan menggunakan politik ekonomi Islam. Yang menjadikan negara tidak tersandera kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem kapitalis.
Namun, negara akan mencari akar masalah persoalan ini. Apakah kelangkaan yang terjadi karena pasokan dan permintaan atau karena penimbunan? Jika permasalahanya adalah karena pasokan dan permintaan, negara tidak akan mengintervensi harga sebagaimana pada kebijakan penguasa kapitalis sekarang. Pematokan harga dalam Islam itu dilarang.
Rasullulloh SAW bersabda:
"Siapa saja melakukan intrevetasi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukan bagi mereka dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak". (HR Ahmad, Al-hakim, dan albaihaqi).
Harga pun diserahkan berdasarkan mekanisme harga pasar. Konsep ini akan membuat seluruh lapisan masyarakat menjangkau harganya.
Namun, negara diperbolehkan mengintervensi barang yang didatangkan dari luar wilayah sehingga ketersedianya kembali normal. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab di masa kepemimpinan beliau.
Khalifah Umar bin Khatab memerintahkan kepada gubernur yang berada di sekeliling Hijaz agar mengirimkan barang yang dibutuhkan ke wilayah yang terserang wabah. Serangan wabah itu membuat pasokan barang berkurang. Dengan konsep ini negara dapat menjamin ketersediaan minyak di kalangan masyarakat. Negara juga boleh mengambil sejumlah hutan milik umum untuk ditanami sawit dan mengolahnya, hasilnya diberikan kepada rakyat. Negara juga bisa menanggungkan biaya oprasional saja kepada rakyat sehingga harga menjadi murah.
Jika kelangkaan disebabkan karna penimbunan negara akan melakukan sanksi ta'zir kepada para pelaku karna perbuatan mereka sudah membuat masyarakat tidak tenang.
Sanksi Islam memiliki ciri khas yakni ketika diterapkan memberi efek (jawabir) sebagai penghapus dosa dan efek (jawazir) sebagai pencegah kejahatan.
Dengan demikian negara mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga murah, sehingga kondisi harga pun terkendali dan stok pun mencukupi.
Penulis: Ummu Khalid, Komunitas Muslimah Rindu Surga, Bandung
Editor :Tim Sigapnews