“Pat Gulipat” Dana Konsinyasi di PN Bitung, Publik Pertanyakan Integritas Pengadilan

Pemerhati hukum, Efraim Lengkong
Bitung – Skandal pencairan dana konsinyasi senilai Rp53,1 miliar yang dititipkan di Pengadilan Negeri (PN) Bitung kembali menjadi sorotan publik.
Pemberitaan media nasional menyoroti dugaan permainan kotor dalam proses pencairan dana konsinyasi proyek strategis nasional Tol Manado–Bitung.
Pemerhati hukum, Efraim Lengkong, yang juga kuasa ahli waris enam foto Tanjung Merah, Kota Bitung, menduga pencairan dana konsinyasi tersebut sarat rekayasa dan tidak terlepas dari praktik “pat gulipat” di internal PN Bitung.
“Cairnya dana konsinyasi kepada ahli waris almarhum Fien Sompotan terjadi bukan karena proses hukum yang jernih, tetapi lebih kepada siapa cepat, dia dapat. Bahkan kami mencurigai ada permainan yang melibatkan oknum Ketua PN Bitung,” ungkap Lengkong.
Ia menyoroti fakta bahwa pencairan dana dilakukan pada 24 Desember 2024 dan 3 Januari 2025 secara marathon, meskipun saat itu masih terdapat upaya hukum dari pihak ahli waris lain.
Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya keberpihakan dan dugaan penyalahgunaan kewenangan di lembaga peradilan.
Kasus semakin ramai setelah laporan resmi dilayangkan oleh Nico Noldy Mamanua (60), Ketua Yayasan Nicodemus Sompotan–Sabina Lontoh, ke Polda Sulut dengan nomor LP/B/563/VIII/2025/SPKT/POLDA SULUT tertanggal 15 Agustus 2025.
Laporan itu menuding adanya pemalsuan dokumen yang dipakai pihak lain, yakni Lexi Wawo SH Cs dan Jack Ticoalu Cs, untuk menguasai lahan di Kelurahan Madidir, Bitung. Lahan tersebut saat ini ditempati Pertamina, sementara dana ganti ruginya dititipkan di PN Bitung.
“Mudah-mudahan hak-hak ahli waris yang sah dapat diperhatikan. Tetapi kita harus jujur, nurani keadilan di pengadilan sering kalah oleh uang,” tambah Mamanua.
Publik kini menuntut transparansi dari PN Bitung. Mekanisme dana konsinyasi yang seharusnya melindungi hak rakyat dinilai rawan diselewengkan karena minim pengawasan.
Kritik tajam diarahkan langsung ke pimpinan pengadilan yang dianggap gagal menjaga integritas lembaga peradilan.
Kasus ini menegaskan bahwa mafia tanah tidak hanya bermain di level masyarakat, tetapi juga diduga melibatkan oknum aparat dan institusi negara.
Bila benar ada praktik “pat gulipat” di PN Bitung, hal ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan ancaman serius terhadap wibawa peradilan.
Editor :Tim Sigapnews