WALHI Bongkar Kegagalan FOLU Net Sink 2030 di Lahan Korporasi Kehutanan Riau

Rezki Andika, Staf Kajian WALHI Riau, saat memaparkan hasil investigasi.
PEKANBARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau meluncurkan laporan investigasi yang menohok pelaksanaan program FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030 di sektor korporasi kehutanan.
Dalam diskusi publik yang digelar di Pekanbaru, WALHI membeberkan temuan-temuan lapangan yang memperlihatkan lemahnya implementasi dan minimnya komitmen pemerintah daerah terhadap program nasional ini.
“Riau mendapatkan porsi intervensi FOLU terbesar secara nasional, yakni sebesar 65,58 persen wilayah atau sekitar 5,7 juta hektare. Tapi perencanaan dan pelaksanaan di lapangan masih jauh dari harapan,” ujar Rezki Andika, Staf Kajian WALHI Riau, saat memaparkan hasil investigasi.
Penyelidikan WALHI dilakukan di lima konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yaitu PT Ruas Utama Jaya (RUJ), PT Suntara Gajapati (SGP), PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT National Sago Prima (NSP), dan eks PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL).
Temuan utama meliputi tiga hal: konflik tenurial yang belum diselesaikan, ketidaksesuaian data dalam dokumen rencana kerja, dan pelanggaran lingkungan hidup yang masih terus berlangsung.
“Contohnya di PT NSP, dalam dokumen disebut ada 1.449 hektare hutan alam untuk RO2 (pencegahan deforestasi gambut), tapi kami hanya temukan 275 hektare. Selain itu, beberapa RO yang seharusnya berada di lahan mineral ternyata justru berada di kawasan gambut,” jelas Rezki.
WALHI juga menemukan konflik sosial di tiga lokasi konsesi, di antaranya Desa Basilam Baru dan Kelurahan Batu Panjang, dengan tumpang tindih penggunaan lahan antara masyarakat dan perusahaan. Pelanggaran lingkungan pun masih terjadi, seperti kerusakan ekosistem gambut dan pelanggaran terhadap dokumen Renja FOLU dan RPPEG.
“Fakta-fakta ini menghambat tercapainya target FOLU Net Sink 2030. Kami mendesak Presiden RI untuk segera mengevaluasi dan mengawasi ketat implementasi program ini, agar tidak berhenti sebagai jargon semata,” tegas Rezki.
Riko Kurniawan, Direktur Paradigma, turut mengecam lemahnya implementasi kebijakan. “Isu iklim masih jadi gimik politik. Rencana kerja FOLU bagus di atas kertas, tapi nihil aksi nyata,” kritiknya.
Sementara itu, Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye WALHI Nasional, menyoroti ketidakadilan terhadap masyarakat adat.
“Negara menjaga hutan bukan karena ia ruang hidup masyarakat, tapi karena nilainya sebagai investasi. Ini paradigma yang salah,” ujarnya.
Diskusi publik ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang mengangkat peran masyarakat adat dalam pengurangan emisi dan pentingnya ruang dialog agar publik bisa menilai dampak kebijakan iklim secara jernih.
Laporan investigasi WALHI ini membuka mata bahwa komitmen iklim Indonesia hanya akan bermakna jika dijalankan secara konsisten di lapangan, dengan melibatkan masyarakat, dan tidak tunduk pada kepentingan korporasi. Laporan lengkap dapat diakses di website resmi WALHI Riau.
Editor :Tim Sigapnews
Source : Walhi Riau