6 Raksasa Perusahaan Kepung TNTN
WALHI: Ultimatum Relokasi Tesso Nilo 3 Bulan, Picu Ancaman Konflik Besar!

Peta kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.
PEKANBARU – Upaya relokasi paksa yang dilakukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) terhadap masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, menuai sorotan tajam.
Pada 10 Juni 2025, Satgas PKH memerintahkan seluruh warga untuk pindah secara mandiri paling lambat 22 Agustus 2025. WALHI Riau menilai langkah ini sembrono dan berpotensi memicu konflik besar.
"Relokasi ini tidak bisa disamaratakan. Pendekatannya tidak boleh militeristik. Negara pernah membiarkan masyarakat tinggal selama bertahun-tahun di sana. Jangan sampai pembiaran ini dibalas dengan tindakan represif," ujar Andri Alatas, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Selasa (25/6/2025).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menilai kebijakan relokasi sepihak ini tidak dilandasi perencanaan pemulihan lingkungan dan sosial yang matang. Situasi ini dikhawatirkan akan memunculkan konflik horizontal, bahkan ketegangan antara warga dan aparat negara.
“Pemulihan TNTN harus melalui pendekatan kolaboratif, tidak represif. Warga terdampak harus dilibatkan. Jangan ulangi kesalahan masa lalu,” ujar Eko Yunanda, Manajer WALHI Riau.
TNTN Terancam Hancur: Tutupan Hutan Tersisa Hanya 15%
TNTN awalnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi lewat SK Menteri Kehutanan pada 2004, dengan luas awal 83.068 ha yang kemudian direvisi menjadi 81.793 ha pada 2014. Namun menurut data WALHI, tutupan hutan alam kini hanya tersisa 12.561 ha atau 15,36% akibat perambahan dan deforestasi masif.
Penyebab utamanya adalah lemahnya pengawasan dan masifnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit ilegal sejak 1999, menyusul pencabutan izin PT Inhutani IV pada 2002.
6 Raksasa Perusahaan Kepung TNTN dari Zona Penyangga
WALHI juga mengungkap ada enam perusahaan besar yang beroperasi di zona penyangga (buffer zone) TNTN dan ditengarai turut mempercepat alih fungsi hutan:
1. PT Riau Andalan Pulp & Paper – 338.536 Ha
2. PT Arara Abadi – 296.262 Ha
3. CV Lindung Bulan – 2.500 Ha
4. PT Rimba Lazuardi – 23.340 Ha
5. PT Peranap Indah – 11.620 Ha
6. PT Inti Indosawit Subur – 1.405 Ha
“Pembiaran sejak awal ini menjadi pintu masuk bagi cukong dan korporasi. Negara tidak hadir tegas, bahkan perusahaan besar dibiarkan beroperasi di sekitar TNTN,” tegas Eko.
Preseden Buruk Agrinas dan UU Cipta Kerja
WALHI juga mengkritik penyitaan aset sawit PT Duta Palma milik Surya Darmadi yang justru dialihkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara. Alih-alih memulihkan hak masyarakat dan lingkungan, negara dianggap malah menciptakan konflik baru.
“Negara justru membentuk perusahaan baru yang malah melanggengkan konflik. Ini preseden buruk yang tidak boleh terulang,” kata Eko.
Ditambah lagi, ketentuan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja justru menghapus pertanggungjawaban pidana bagi pelaku usaha sawit ilegal sebelum November 2020, yang dinilai sebagai jalan legal bagi para perambah.
Andri Alatas menegaskan bahwa penertiban kawasan TNTN harus disesuaikan dengan klasifikasi penguasaan lahan:
1. < 5 Ha dan dihuni >5 tahun: Perlu pertimbangan legalisasi sosial.
2. > 25 Ha: Umumnya milik pemodal besar dan harus ditindak tegas.
3. 5–25 Ha: Perlu identifikasi untuk pengelompokan yang adil.
"Ada masyarakat yang membangun desa, sekolah, dan rumah ibadah. Mereka sudah lama tinggal di sana. Harus dibedakan dari pemodal besar,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Eko menyarankan pemerintah memberikan masa transisi yang manusiawi dan melibatkan masyarakat dalam skema pemulihan, seperti pergantian sawit dengan tanaman hutan dan skema kemitraan konservasi.
"Relokasi ini bukan cuma soal pindah rumah, tapi soal keberlanjutan ekonomi, pendidikan anak, dan akses layanan publik. Generalisasi tenggat waktu hanya akan memicu letusan konflik," katanya.
WALHI Riau menyerukan tiga langkah penting ke depan:
1. Pemerintah wajib menjaga hutan alam tersisa dan mengawasi zona penyangga.
2. Warga harus dilibatkan aktif dalam perlindungan dan pemulihan kawasan.
3. Hindari pendekatan militeristik dan prioritaskan keadilan ekologis.
“Negara jangan jadi aktor kekerasan baru dalam upaya penyelamatan hutan. Komitmen tegas dan keadilan ekologis harus jadi arah kebijakan ke depan,” tutup Eko Yunanda.
Kasus Tesso Nilo bukan hanya soal hutan, tapi tentang pilihan negara: membela rakyat dan lingkungan, atau tunduk pada kepentingan korporasi. Ketegasan tanpa keadilan hanya akan menyalakan bara konflik yang lebih besar.
Editor :Tim Sigapnews
Source : Walhi