Hybrid Engineering ala Pemuda Kampung: Dari Lumpur Jadi Daratan Baru

SIGAPNEWS.CO.ID - Suara ombak berulang kali menampar akar-akar bakau yang menjulur ke air. Sesekali, seekor bangau putih melintas, seolah ikut menemani harmoni pagi di tepian Selat Lalang. Namun di sela riak air yang sedang pasang, pemandangan berbeda terlihat: lima anak muda sibuk menancapkan tiang nibung ke dalam lumpur.
Peluh menetes, kaki mereka terbenam hingga lutut, tangan kotor penuh lumpur, tapi mata tetap berbinar. Dalam sebuah diskusi bersama wartawan pada agenda Field Trip dan Lomba Karya Tulis Jurnalistik (LKTJ) yang digelar PT Imbang Tata Alam (ITA), Kamis (18/9/2025), Bayu, seorang pemuda anggota Pejuang Zona Satu, bercerita dengan lantang:
“Inilah cara kami melawan abrasi. Berat, tapi harus dilakukan. Kami ingin daratan ini tetap ada untuk anak cucu kami.”
Mereka menamakan diri Pejuang Zona Satu. Meski hanya berlima, tekad mereka melampaui keterbatasan tenaga. Setiap hari, dengan jam kerja yang singkat -- hanya dua jam mengikuti ritme pasang surut -- mereka berendam dalam lumpur untuk membangun Alat Pemecah Ombak (APO).
Teknik ini dikenal sebagai hybrid engineering, sederhana namun cerdas: memanfaatkan tiang pancang kayu nibung yang disusun rapat dengan penahan dari pelepah kelapa. Ketika air pasang datang, lumpur terbawa masuk. Saat surut, lumpur itu tertahan di balik tiang. Sedikit demi sedikit, terbentuk sedimen baru.
“Dalam dua bulan, sedimen sudah bertambah 15 sentimeter. Kalau terus bertambah, daratan ini bisa kami tanami mangrove api-api, yang paling kuat menahan arus,” kata Ngah Khaidir, pegiat lingkungan yang membimbing para pemuda itu.
Dari Pohon Beringin ke Ekowisata Mangrove
Jauh sebelum dikenal sebagai Ekowisata Mangrove Sungai Bersejarah (MSB), kawasan ini hanyalah hutan mangrove yang sebagian dirambah warga untuk dijadikan kayu arang. Pantai pun terkikis, daratan kian menyusut. Namun sejarah menyimpan cerita lain.
Menurut Jumadi Afrizan, yang akrab disapa Adi Mangrove, nama MSB lahir dari kisah pohon beringin raksasa yang dahulu tumbuh mengangkangi sungai. Akar-akarnya besar, saling terhubung di kanan kiri, menjadi saksi lahirnya Desa Kayu Ara Permai setelah pemekaran dari Desa Kayu Ara pada 2009.
“Kami ingin generasi tahu sejarah ini. Karena itu, kami beri nama Mangrove Sungai Bersejarah,” tuturnya.
Semangat menjaga warisan itu diwujudkan dengan tindakan nyata. Pemuda desa bergotong royong membuka jalur ke dalam hutan mangrove, mengangkut kayu dan bambu seadanya. Hasil kerja keras mereka berbuah pada 2019, ketika pemerintah pusat mengucurkan dana membangun trek kayu sepanjang 250 meter.
Namun pandemi Covid-19 membuat segalanya berhenti. Tiga tahun lebih, tak ada pengunjung, tak ada pemasukan. Jembatan kayu lapuk dimakan usia, semangat pun nyaris pudar.
Hingga kemudian, harapan itu kembali menyala. PT Imbang Tata Alam (ITA), perusahaan migas yang beroperasi di Siak, merangkul para pemuda. CSR Coordinator, Arip Hidayatulloh, menuturkan awalnya PT ITA masuk Sungai Apit lewat program Karmelasi (Karet Melayu Siak).
“Seiring waktu, kami diajak bekerja sama oleh pemuda Laskar Mandiri untuk mengelola MSB. Nilainya mungkin kecil, tapi kami konsisten. Kami bantu trek kayu 300 meter, membangun mushalla, hingga jaringan listrik,” katanya.
Mushalla itu diberi nama Mushalla Bagus Kartika, mengenang mantan General Manager PT ITA yang peduli pelestarian mangrove. Kini, wajah MSB kian lengkap. Ada aula berkapasitas 200 orang, tempat wudhu, hingga spot foto. Malam hari, listrik membuat pengunjung bisa menikmati indahnya mangrove ditemani suara jangkrik dan burung malam.
MSB bukan sekadar wisata. Setiap Ahad, lebih dari 90 anak SD hingga SMP duduk bersila di bawah rindang mangrove. Mereka mengikuti Sekolah Alam, belajar mengenali jenis-jenis mangrove, cara menanam, hingga pentingnya menjaga ekosistem.
“Kami ingin anak-anak tumbuh dengan kesadaran cinta lingkungan,” kata Ngah Khaidir, alumni Ilmu Lingkungan Universitas Riau.
Bukan hanya anak-anak, MSB juga menjadi laboratorium terbuka bagi mahasiswa dan peneliti. Lebih dari 40 penelitian sudah dilakukan di sini, dari skripsi hingga disertasi. Kampus dari Riau hingga Yogyakarta tercatat pernah meneliti ekosistem MSB.
“Ini membanggakan, sekaligus menjadi bukti bahwa kampung kecil kami bisa memberi kontribusi besar bagi ilmu pengetahuan,” tambah Khaidir.
Mengubah Mindset Warga
Namun perjalanan tidak mudah. Menurut Adi Mangrove, tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir warga. Dulu, mangrove dianggap sumber kayu arang semata.
“Akibatnya, pantai terkikis, hasil tangkapan nelayan berkurang, ikan dan udang pun hilang,” katanya.
Kini keadaan mulai berubah. Warga mulai terlibat: ada yang berjualan makanan dari buah dan daun mangrove, ada yang menyewakan rumah untuk peneliti, ada pula yang membuka kios di kawasan wisata. Pengelola juga menyediakan tempat sampah, sembari terus memberi edukasi agar kebersihan tetap terjaga. Perlahan, mangrove bukan lagi dianggap barang untuk ditebang, melainkan sumber kehidupan bersama.
Di titik inilah perjuangan Pejuang Zona Satu terasa istimewa. Mereka tidak hanya menanam mangrove, tapi juga menciptakan daratan baru untuk mangrove bisa hidup. Dengan metode hybrid engineering yang sederhana, mereka membalik kondisi: dari lumpur yang hanyut, menjadi lumpur yang bertahan, dari daratan yang hilang, menjadi daratan yang lahir.
“Bekerja di lumpur itu berat, apalagi hanya bisa dua jam sehari. Tapi kami bekerja dengan hati. Setiap tiang pancang yang kami tancapkan adalah doa agar daratan ini tetap ada,” ucap Ngah Khaidir.
Mereka tidak memasang target muluk. Tahap pertama, APO dibangun sepanjang 800 meter. Meski berat, semangat tak pernah surut. Sedikit demi sedikit, daratan baru terbentuk. Sedikit demi sedikit, harapan itu tumbuh.
Kini MSB bukan hanya destinasi wisata, melainkan simbol kebangkitan. Dari gotong royong lahir trek kayu, dari kolaborasi lahir fasilitas, dari edukasi lahir generasi sadar lingkungan, dan dari lumpur lahir daratan baru.
Suara ombak yang dulu menakutkan kini menjadi irama perjuangan. Di antara akar-akar mangrove yang menjulur ke air, tersimpan pesan sederhana: alam bisa pulih jika ada cinta, daratan bisa lahir kembali jika ada harapan, dan masa depan bisa terjaga jika ada tangan-tangan muda yang berani berjuang.
Sebagai penutup, Jumadi Afrizan atau Adi Mangrove, sosok yang selama ini dikenal karena kepeduliannya pada kelestarian mangrove, menyampaikan refleksi yang menggetarkan hati:
“Mangrove bukan hanya pohon. Ia adalah nafas bagi laut, benteng bagi daratan, dan penghidupan bagi manusia. Jika kita merawatnya hari ini, anak cucu kita kelak masih bisa melihat laut yang biru, pantai yang utuh, dan hutan yang rimbun. Karena melestarikan mangrove sesungguhnya adalah melestarikan kehidupan.”***Rio
Editor :Tim Sigapnews