Nilai Konferensi Asia Afrika 1955 Bangkit Lagi! Dunia Butuh Semangat Bandung

Penulis: Thonang Effendi. FotoPusdiklat APU-PPT
Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung pada tahun 1955 kembali menjadi sorotan dunia, di tengah meningkatnya ketegangan global seperti konflik Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel. Indonesia, sebagai pelopor konferensi tersebut, dinilai memiliki peran strategis untuk menghidupkan kembali semangat solidaritas dan perdamaian dunia.
Bandung, 1955, menjadi saksi sejarah lahirnya Dasasila Bandung sepuluh prinsip hubungan internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan penyelesaian konflik secara damai. Prinsip-prinsip itu menjadi tonggak berdirinya Gerakan Non-Blok dan tetap relevan hingga kini.
Konferensi ini melahirkan Dasasila Bandung, yang berisi sepuluh prinsip dasar hubungan internasional yang damai dan saling menghargai, antara lain:
• Menghormati hak-hak asasi manusia,
• Menghormati kedaulatan dan integritas wilayah,
• Penyelesaian sengketa secara damai,
• Tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain,
• Kerja sama untuk kepentingan bersama
Presiden Soekarno dalam pidato pembukaan KAA menegaskan semangat kemandirian dan kesetaraan bangsa-bangsa Asia-Afrika.
“Kami bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang baru merdeka, ingin berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini,” tegasnya penuh semangat.
Akademisi Universitas Diponegoro, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, menyebut bahwa prinsip KAA masih sangat relevan dalam merespons dinamika global masa kini yang sarat konflik.
“Kerja sama internasional harus bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan kepentingan ekonomi dan kekuatan militer semata,” ujarnya.
Prof. Singgih juga menekankan bahwa negara-negara Asia dan Afrika berpeluang besar membentuk jaringan solidaritas baru di tengah situasi dunia yang makin multipolar. Perbedaan justru dapat menjadi kekuatan kolektif untuk membangun masa depan bersama.
Sementara itu, nilai-nilai kerukunan yang dikembangkan masyarakat Indonesia melalui Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menunjukkan bahwa perdamaian global bisa berakar dari karakter individu.
“Negara yang dipimpin oleh karakter luhur akan lebih mampu menjalin hubungan internasional yang saling menghormati,” tegas salah satu pengurus LDII.
LDII mengenalkan 5 syarat kerukunan: berbicara santun, saling percaya, sabar, tidak merusak, serta saling menjaga perasaan. Nilai-nilai yang sejalan dengan semangat Dasasila Bandung.
Sebagai pelopor KAA dan negara berpolitik luar negeri bebas aktif, Indonesia memikul tanggung jawab moral untuk terus menyuarakan perdamaian dunia. Sudah saatnya Indonesia menggaungkan kembali pesan Bandung, dari panggung nasional hingga forum internasional.
Ketika dunia diliputi konflik dan ketidakpastian, semangat Bandung bisa menjadi jawaban. Dari Indonesia, cahaya perdamaian untuk dunia bisa kembali menyala.
Penulis:
Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan Karakter Generasi Bangsa
Editor :Tim Sigapnews