Gen Z Menikah, Takut Ah!

Fenomena ini selingkuh mengundang banyak komentar netizen, tidak terkecuali Gen Z (lahir awal 2000-an) yang saat ini telah masuk usia siap menikah. Mereka, terutama kaum perempuan, mengungkapkan takut untuk melangkah ke pelaminan karena khawatir akan
Saat ini perselingkuhan menjadi hal yang biasa terjadi. Tidak hanya dilakukan laki-laki, tetapi tidak sedikit wanita juga melakukannya. Baik laki-laki maupun wanita, tua, muda memang memiliki naluri untuk eksistensi diri dan mempunyai naluri pula untuk tertarik dengan lawan jenis. Skandal perselingkuhan juga menerpa kehidupan sejumlah artis hingga menghebohkan publik. Mirisnya, dugaan selingkuh diungkap oleh istri mereka sendiri, menjadi topik panas di media sosial.
Tak jarang perselingkuhan menyebabkan keretakan rumah tangga. Ada pula yang memutuskan bercerai karena berprinsip kesetiaan adalah segala-galanya dalam pernikahan (detik.com, 24/06).
Fenomena ini pun mengundang banyak komentar netizen, tidak terkecuali Gen Z (lahir awal 2000-an) yang saat ini telah masuk usia siap menikah. Mereka, terutama kaum perempuan, mengungkapkan takut untuk melangkah ke pelaminan karena khawatir akan diselingkuhi suami. Bahkan, sempat muncul stigma negatif bahwa sebelum menikah, calon istri adalah perempuan tercantik dalam pandangan laki-laki. Akan tetapi, setelah menikah, semua perempuan tampak cantik, kecuali sang istri. Oleh karenanya, dianggap bukan hal yang aneh ketika sudah punya istri cantik, salihah, dan anak-anak yang lucu, suami masih selingkuh juga.
Selain itu, selingkuh ternyata bukan hanya monopoli laki-laki. Studi Current Opinion in Psychology pada 2020 menemukan, laki-laki dan perempuan kini terlibat dalam perselingkuhan pada tingkat yang sama. Studi tersebut mencatat, sebanyak 57% laki-laki dan 54% perempuan mengaku pernah berselingkuh. Indonesia menjadi negara dengan tingkat perselingkuhan kedua tertinggi di Asia setelah Thailand. Peringkat ini berdasarkan hasil survei aplikasi Just Dating. Sebanyak 40% responden di Indonesia mengaku pernah berselingkuh, sedangkan responden Thailand sebesar 50%. Pada aplikasi tersebut pun ditemukan bahwa perempuan di Indonesia lebih banyak mengaku pernah berselingkuh ketimbang laki-laki (Tribun News, 18/2).
Memandang perselingkuhan muncul karena adanya satu faktor saja, misal kebosanan, ketakcocokan dengan pasangan, dan sebagainya, adalah pandangan yang dangkal. Beberapa kasus mungkin iya. Namun, banyak fakta di masyarakat bahwa pasangan yang ideal, tidak pernah diterpa isu negatif, dan terlihat mesra dan harmonis, tiba-tiba terlibat kasus perselingkuhan. Wajar jika saat ini, di mana pun para istri dihantui bayangan kekhawatiran suami akan berselingkuh. Begitu pun sebaliknya, suami tidak merasa aman dari perselingkuhan istri. Bahkan cara selingkuh mulai beragam, ada yang selingkuh dengan platform aplikasi seperti Grab Chat, Canva, GoogleDocs, Kalkulator dan lain sebagainya.
Memang ini menjadi dalih dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa ketakwaan individu yang kurang menjadi salah satu penyebab perselingkuhan. Namun, kerusakan tata nilai dan aturan yang berlaku menjadi faktor yang lebih utama. Diakui atau tidak, Indonesia saat ini sudah terjerat sistem demokrasi liberal. Dalam sistem ini, tidak ada aturan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Semua diserahkan kepada pribadi atas nama kebebasan berperilaku.
Dalam pandangan masyarakat Barat yang menganut ideologi kapitalisme liberal, relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan adalah relasi yang bersifat seksual. Artinya, keberadaan laki-laki adalah untuk memenuhi naluri biologis perempuan. Begitu pun sebaliknya, keberadaan perempuan adalah untuk memuaskan naluri biologis laki-laki. Dengan pandangan seperti ini, upaya-upaya untuk membangkitkan naluri seksual dan memenuhinya akan selalu diadakan. Inilah yang kemudian membuka lebar pintu-pintu perselingkuhan.
Bagaimana tidak? Perempuan bebas mengumbar auratnya, bahkan sering kali daya tarik keperempuanannya dimanfaatkan untuk kesuksesan karier. Tengok betapa beberapa artis sampai merasa perlu memermak penampilan dengan berbagai operasi plastik untuk memudahkan mendapat job. Juga lihat iklan-iklan lowongan kerja yang sebagian besar mencantumkan “berpenampilan menarik” sebagai salah satu syarat penerimaan pegawai.
Berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan alasan tugas, servis pelanggan, dan sebagainya, tidak lagi dipandang tabu. Perempuan pergi berhari-hari dengan teman kerja laki-laki tanpa disertai suami, mengobrol dan saling curhat masalah pribadi dengan teman kerja, juga dianggap hal yang biasa. Bahkan, campur baurnya laki-laki dan perempuan, seperti di kereta api atau bus kota, sering menjadi awal perselingkuhan.
Ditambah lagi, minimnya pemahaman agama sehingga tidak ada kontrol dari internal diri agar menahan hawa nafsu di mana pun berada. Bertabaruj, khalwat, dan ikhtilat (campur baur pria dan wanita) menjadi hal yang marak di tengah-tengah umat. Belum lagi paparan tayangan pornografi dan pornoaksi di media yang mudah diakses. Hal ini makin menstimulasi naluri seksual pada diri manusia. Mendorong manusia untuk memenuhinya tanpa peduli dengan nilai-nilai agama.
Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya aturan baku dari negara terhadap interaksi laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan negara demokrasi, interaksi semacam ini adalah wilayah privat yang negara tidak boleh ikut campur mengaturnya. Sanksi bagi perselingkuhan juga hampir tidak ada. Hubungan suka sama suka “halal” dalam masyarakat liberal. Sanksi hanya bisa dijatuhkan apabila pasangan peselingkuh mengadukannya. Namun, ini jarang terjadi karena umumnya orang merasa segan untuk mempermalukan keluarga. Akhirnya, jalan yang dipilih adalah perceraian.
Demikianlah, kerusakan mendasar sebuah sistem yang melibatkan individu, masyarakat, dan negara, merupakan pangkal dari segala kerusakan. Para istri dan suami dihantui kecemasan, was-was pasangan berselingkuh karena godaan ada di mana-mana, mulai dari jalan, sampai tempat kerja, bahkan kadang di rumah juga ada. Rasa takut menikah yang terjadi pada Gen Z saat ini adalah karena mereka jauh dari gambaran penerapan syariat Islam dalam pernikahan.
Dalam pandangan Islam, relasi antara laki-laki dan perempuan adalah untuk melestarikan keturunan. Hubungan interaksi laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa agar tidak membangkitkan hasrat seksual, kecuali interaksi antara suami istri. Berdasarkan hal ini, Islam memberikan seperangkat aturan agar menjamin pertemuan antara laki-laki dan perempuan semata-mata pertemuan yang bersifat produktif, membangun tolong-menolong antara mereka, dan tidak menimbulkan hasrat seksual.
Walhasil, Islam melarang perempuan untuk mengumbar aurat dan tabaruj (menampakkan kecantikannya kepada laki-laki bukan mahram), melarang khalwat, dan melarang laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa ada kepentingan. Islam juga memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk bertakwa kepada Allah, serta menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Negara wajib melarang peredaran produk-produk pornografi dan berbagai bentuk pornoaksi, praktik-praktik pelacuran serta memberikan sanksi bagi para pezina. Begitu pun sistem ekonomi dan sanksi. Negara akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyatnya agar tidak ada perempuan yang terpaksa ikut membantu ekonomi keluarga.
Inilah aturan Islam. Aturan yang menutup rapat seluruh pintu perselingkuhan. Dalam naungan aturan Islam ini, para istri akan merasa tenang, tidak perlu merasa khawatir suaminya akan tergoda untuk berselingkuh. Dengan demikian, kehidupan suami istri adalah kehidupan yang penuh persahabatan. Suami maupun istri akan menikmati ketenangan dan kebahagiaan yang mereka bangun bersama. Ditambah dengan aturan-aturan pergaulan sebagaimana dijelaskan di atas. Sudah semestinya Gen Z tidak perlu takut menikah, selama mereka berangkat dari niat ikhlas karena Allah dan memahami hukum-hukum agama dengan benar. Wallahu’alam bishawab.
Oleh : Dina Aprilya, Aktivis Muslimah Medan
Editor :Tim Sigapnews