Trump 2.0 Buka Peluang Baru Dagang Indonesia di Tengah Perang Tarif

Kebijakan tarif tinggi yang kembali diusung mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu diskusi hangat di Universitas Paramadina, Jakarta.
Jakarta - Kebijakan tarif tinggi yang kembali diusung mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu diskusi hangat di Universitas Paramadina, Jakarta.
Dalam forum publik bertajuk “Antara Amerika dan China: Indonesia di Era Perang Dagang Trump 2.0”, para pakar ekonomi dan hubungan internasional sepakat bahwa langkah ini membawa peluang besar bagi Indonesia, namun juga mengandung risiko serius bagi stabilitas dagang.
Ketua Program Studi Magister Hubungan Internasional Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menyebut situasi ini sebagai “momentum positif” yang patut dimanfaatkan.
“Kebijakan tarif ini menempatkan Indonesia pada peluang emas, meski tantangannya besar. Persaingan dengan negara berkarakter ekspor serupa akan makin ketat,” tegasnya.
Ia menilai pergeseran geopolitik di Asia Timur, seperti kolaborasi baru antara China, Jepang, dan Korea Selatan, serta meningkatnya sikap kritis Eropa terhadap AS, berpotensi menjadi berkah sekaligus sumber ketidakpastian.
Data perdagangan menunjukkan, pada 2024, hubungan dagang Indonesia–AS mencapai USD 35,8 miliar dengan surplus USD 16,8 miliar (45% dari total surplus perdagangan luar negeri). Sebaliknya, perdagangan dengan China bernilai USD 136,2 miliar namun menimbulkan defisit USD 11,4 miliar.
“Defisit ini dikompensasi lewat investasi langsung dari China. Namun, kita tak boleh bergantung pada satu pihak saja,” ujar ekonom Paramadina Wijayanto Samirin.
Staf Ahli Kantor Komunikasi Presiden, Fithra Faisal Hastiadi, menyebut kesepakatan tarif 15–20% dengan AS sebagai “the best deal” yang lebih baik dari Vietnam yang terkena 20%.
“Ini bukan sekadar soal tarif, tapi posisi strategis Indonesia di arsitektur perdagangan global,” katanya.
Namun, peringatan datang dari Sekjen Asosiasi Ekonomi Internasional, Lily Yan Ing, yang melihat potensi kecemburuan dari China, Jepang, dan India. Ia mendorong negosiasi ulang berbasis kesetaraan dan pemanfaatan maksimal ACFTA serta RCEP.
Ketua Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herijanto, menekankan pentingnya menjaga netralitas.
“Netralitas ini penting, tapi kita harus waspada agar proyek strategis tidak dikuasai sepihak,” ujarnya, merujuk pada risiko dominasi China di infrastruktur.
Diskusi ini menutup dengan rekomendasi strategi multi-poros: membagi pasar ekspor, memperkuat diplomasi ekonomi, dan mengelola risiko geopolitik agar Indonesia tetap menjadi pemain penting di panggung perdagangan global.
Editor :Tim Sigapnews