Mafia Tanah Rampok Rp95 Miliar di Proyek Pertamina Bitung, Publik Desak KPK Turun Tangan

Desakan publik semakin menguat agar KPK, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri segera turun tangan mengusut dugaan rekayasa pembayaran ganti rugi lahan Depot PT Pertamina (Persero) di Bitung. Foto Ilustrasi
JAKARTA – Desakan publik semakin menguat agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri segera turun tangan mengusut dugaan rekayasa pembayaran ganti rugi lahan Depot PT Pertamina (Persero) di Bitung, Sulawesi Utara, yang berpotensi merugikan negara hingga Rp95 miliar.
Berdasarkan dokumen hukum yang diperoleh media, tanah seluas 184.704 meter persegi di kawasan Depot Pertamina Bitung awalnya tercatat atas nama Simon Tudus melalui Buku Tanah Nomor 1 Tahun 1968. Namun, pada 1978, kepemilikan lahan itu tiba-tiba berubah menjadi Buku Tanah Nomor 1 Tahun 1978 atas nama Bernetje Rawung dkk, dengan luas meningkat hampir tiga kali lipat tanpa dasar hukum dan administrasi yang sah.
Padahal, Surat Keterangan Waris yang dijadikan dasar perubahan kepemilikan telah dibatalkan Pemerintah Kabupaten Minahasa melalui Surat No. 180/03/08 tertanggal 28 Februari 2005 karena tidak memenuhi syarat administratif dan tanpa nomor registrasi resmi.
Namun Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bitung tetap menerbitkan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Register No. 147/BA.71.72.MP.01.02/V/2025 dan bahkan merencanakan pencairan dana ganti rugi kepada pihak yang tidak berhak.
Langkah ini dilakukan meskipun Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 305/PK/Pdt/2011 telah menolak eksekusi pembayaran dan membatalkan seluruh proses hukum terkait lahan tersebut.
“Ini bukan pelanggaran biasa. Ada indikasi kuat kolusi vertikal dari daerah hingga pusat. Negara dirugikan, hukum diinjak-injak,” ungkap salah satu sumber hukum yang mengikuti kasus ini, Senin (20/10/2025).
Lebih mencengangkan lagi, pada 27 Mei 2025, proses penandatanganan dokumen pelepasan hak dan pencairan dana tetap dilakukan, meski kepala BPN Kota Bitung sudah berganti. Dugaan kuat munculnya campur tangan pejabat BPN Pusat dalam memecah sertifikat dan memanipulasi data pertanahan untuk membuka jalan pencairan dana Rp95 miliar tersebut.
Selain itu, laporan pidana telah diajukan oleh Nico Noldy Mamanua melalui Laporan Polisi Nomor STTLP/B/563/VIII/2025/SPKT/POLDA SULUT pada 15 Agustus 2025 terhadap Lexy Wawo, SH dan Jack Ticoalu, yang diduga menjadi pengatur utama pemalsuan dokumen dan penerima manfaat dari skema ilegal ini.
Pakar hukum pertanahan menilai penegakan hukum tidak boleh berhenti di level daerah. “KPK, Kejagung, dan Polri harus bergerak cepat. Ini bukan sekadar sengketa tanah, tapi korupsi terstruktur dan terencana yang melibatkan aparatur negara di berbagai level,” tegas salah satu pengamat hukum tata negara di Jakarta.
Kasus Pertamina Bitung ini memperlihatkan bagaimana persekongkolan antara oknum BPN, aparat pengadilan, pihak swasta, dan elemen di tubuh Pertamina dapat menggerogoti uang rakyat. Publik kini menuntut penegakan hukum tanpa kompromi.
“Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah. Semua yang terlibat dari daerah hingga pusat harus ditangkap dan diadili,” pungkas pengamat tersebut dengan nada tegas.
Editor :Tim Sigapnews