Kekayaan Yayasan: Ketentuan Hukum dan Pembatasan Pengalihan Aset

Foto Ilustrasi yaysan pebdidikan.
Kekayaan yayasan memiliki status hukum yang berbeda dengan kekayaan pribadi pendiri atau pengurusnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Yayasan, yang menyatakan bahwa "Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal." Artinya, sejak didirikan, kekayaan yayasan terpisah dari kekayaan pribadi pihak-pihak yang mendirikannya.
Sumber kekayaan yayasan tidak hanya berasal dari kekayaan awal yang dipisahkan oleh pendiri. Yayasan juga dapat memperoleh kekayaan dari berbagai sumber lain, seperti:
- Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
- Wakaf;
- Hibah;
- Hibah wasiat; dan
- Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seluruh kekayaan yayasan tersebut wajib digunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan sebagaimana telah ditentukan dalam anggaran dasarnya.
Batasan Pengurus dalam Mengalihkan Aset Yayasan
Dalam menjalankan tugasnya, pengurus yayasan tidak memiliki kewenangan mutlak atas kekayaan yayasan. Berdasarkan ketentuan hukum, pengurus tidak diperbolehkan:
- Mengikat yayasan sebagai penjamin utang;
- Mengalihkan kekayaan yayasan tanpa persetujuan pembina; serta
- Membebani kekayaan yayasan untuk kepentingan pihak lain.
Dengan demikian, aset atau kekayaan yayasan memang dapat dialihkan atau dijual, asalkan telah mendapatkan persetujuan dari pembina sesuai ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b UU Yayasan.
Perhatian Khusus Terhadap Aset Yayasan yang Berasal dari Wakaf
Perlu diperhatikan bahwa jika kekayaan yayasan berasal dari wakaf, maka aset tersebut tunduk pada ketentuan perundang-undangan mengenai wakaf. Pasal 40 UU Wakaf menyatakan bahwa harta benda wakaf dilarang:
- Dijadikan jaminan;
- Disita;
- Dihibahkan;
- Dijual;
- Diwariskan;
- Ditukar; atau
- Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 41 UU Wakaf, yakni harta wakaf dapat dipertukarkan jika digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), tidak bertentangan dengan syariah, dan telah mendapat izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Aset tersebut juga harus ditukar dengan harta benda lain yang memiliki manfaat dan nilai yang sekurang-kurangnya sama.
Pelanggaran terhadap Pasal 40 UU Wakaf dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp500 juta.
Editor :Tim Sigapnews
Source : hukumonline.com