Korupsi
Kasus Pungli Pulau Pari, Sidang Tuntutan Ditunda

Tiga nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 5 Juni 2017. .(Foto: Sigapnews/Piter)
SIGAPNEWS.CO.ID | Jakarta - Majelis Hakim menunda sidang dengan agenda penuntutan dalam perkara pungutan liar atau pungli oleh tiga nelayan Pulau Pari, Jakarta utara.
Penundaan tersebut lantaran jaksa penuntut umum belum siap dengan bahan tuntutan kepada terdakwa.
"Saya jelas merasa kecewa, saya juga capek," kata Mustaqbirin, salah satu nelayan Pulau Pari, di Pengadilan Jakarta Utara, Jalan Hayam Wuruk, pada Senin, 18 September 2017.
Kuasa Hukum para nelayan, Tigor Hutapea mengatakan kekecewaannya karena sidang tersebut sudah berjalan sebanyak 14 kali selama hampir empat bulan.
"Kami menilai ada keragalauan juga dari jaksa kenapa sampai sekarang belum menyampaikan tuntutannya," ujarnya.
Jika Jaksa Penuntut tidak percaya diri terhadap proses persidangan kasus ini, menurut Tigor, lebih baik para nelayan tersebut dilepaskan dari segala tuntutan.
"Tidak dituntut dengan hukuman pidana."
Tiga nelayan yang menjadi terdakwa adalah Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bachrudib alias Edo.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa tiga terdakwa telah melakukan pungutan liar dan melanggar Pasal 368 Ayat 1 KUHP.
Kasus ini disidangkan terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Menurut Tigor, ketiga warga Pulau Pari itu tidak bisa disebut melakukan pungli atau pungutan liar.
Alasannya, pada 2010 Camat Kepulauan Seribu mengizinkan warga setempat mengelola Pantai Perawan di Pulau Pari.
Maka pihaknya sudah menghadirkan saksi-saksi yang dapat membuktikan bahwa tuntuan jaksa keliru.
Ada delapan saksi dan empat saksi ahli yang dihadirkan di pengadilan. Sedangkan jaksa mengajukan tujuh aksi tanpa saksi ahli.
Saksi-saksi yang dihadirkan dari pihak nelayan menyatakan bahwa tidak ditemukannya bukti bahwa para nelayan Pulau Pari tersebut melakukan pungli terhadap wisatawan yang berkunjung ke sana.
Bahkan, mereka melihat dan mendengar tidak pernah ada ancaman kekerasan atau ancaman tindak paksaan yang dilakukan oleh para terdakwa.(*)
Penundaan tersebut lantaran jaksa penuntut umum belum siap dengan bahan tuntutan kepada terdakwa.
"Saya jelas merasa kecewa, saya juga capek," kata Mustaqbirin, salah satu nelayan Pulau Pari, di Pengadilan Jakarta Utara, Jalan Hayam Wuruk, pada Senin, 18 September 2017.
Kuasa Hukum para nelayan, Tigor Hutapea mengatakan kekecewaannya karena sidang tersebut sudah berjalan sebanyak 14 kali selama hampir empat bulan.
"Kami menilai ada keragalauan juga dari jaksa kenapa sampai sekarang belum menyampaikan tuntutannya," ujarnya.
Jika Jaksa Penuntut tidak percaya diri terhadap proses persidangan kasus ini, menurut Tigor, lebih baik para nelayan tersebut dilepaskan dari segala tuntutan.
"Tidak dituntut dengan hukuman pidana."
Tiga nelayan yang menjadi terdakwa adalah Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bachrudib alias Edo.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa tiga terdakwa telah melakukan pungutan liar dan melanggar Pasal 368 Ayat 1 KUHP.
Kasus ini disidangkan terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Menurut Tigor, ketiga warga Pulau Pari itu tidak bisa disebut melakukan pungli atau pungutan liar.
Alasannya, pada 2010 Camat Kepulauan Seribu mengizinkan warga setempat mengelola Pantai Perawan di Pulau Pari.
Maka pihaknya sudah menghadirkan saksi-saksi yang dapat membuktikan bahwa tuntuan jaksa keliru.
Ada delapan saksi dan empat saksi ahli yang dihadirkan di pengadilan. Sedangkan jaksa mengajukan tujuh aksi tanpa saksi ahli.
Saksi-saksi yang dihadirkan dari pihak nelayan menyatakan bahwa tidak ditemukannya bukti bahwa para nelayan Pulau Pari tersebut melakukan pungli terhadap wisatawan yang berkunjung ke sana.
Bahkan, mereka melihat dan mendengar tidak pernah ada ancaman kekerasan atau ancaman tindak paksaan yang dilakukan oleh para terdakwa.(*)
Editor :Tim Sigapnews