Demo di Depan Komnas HAM, Peternak Tuntut Hak Hidup dan Hak Usaha

Sekretariat Bersama (Sekber) Asosiasi Perunggasan berunjuk rasa di depan kantor Komnas HAM di Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (13/3) untuk menuntut hak hidup dan berusaha.
SIGAPNEWS.CO.ID | JAKARTA - Jumlah peternak mandiri sekelas UMKM diperkirakan tinggal 10-20 persen saja. Mereka kalah bersaing dengan konglomerasi perusahaan unggas yang menguasai bisnis dari hulu sampai hilir.
Sekretariat Bersama (Sekber) Asosiasi Perunggasan berunjuk rasa di depan kantor Komnas HAM di Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (13/3) untuk menuntut hak hidup dan berusaha.
“Peternak ingin ha katas akses ekonomi ini diselidiki, karena telah terjadi penyimpangan dan ketiadaan akses peternak untuk berbisnis. Kami meminta Komnas HAM untuk menyelidikinya,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi, selaku koordinator lapangan.
Sugeng menegaskan dalam kurun lima tahun terakhir, para peternak mandiri mengalami kerugian yang sifatnya struktural. Kesulitan yang dialami peternak mandiri dan peternak rakyat ini terjadi Kementerian dan lembaga terkait, tidak melakukan langkah-langkah proaktif melindungi peternak rakyat. Sehingga, perusahaan konglomerasi peternakan menguasai industri peternakan unggas tanpa memberikan peluang bagi peternak kecil untuk mengembangkan usahanya.
Ketidakmampuan pemerintah melindungi peternak, menurut Sugeng akibat Kementerian Pertanian, Kementrian Perdagangan, dan Badan Pangan Nasional tidak memiliki data yang valid mengenai kebutuhan dan konsumsi ayam broiler di Indonesia. “Hal ini mengakibatkan supply and demand tidak dapat diproyeksikan secara tepat. Sehingga, di pasaran ketersediaan ayam selalu berlebihan (oversupply),” tutur Sugeng.
Ketiadaan data yang valid ini kemudian digunakan oleh perusahaan-perusahaan integrator untuk menguasai pasar dari hulu ke hilir, yang berdampak secara langsung terhadap operasional dan kehidupan peternak mandiri dan peternak rakyat. Situasi ini mengakibatkan harga jual ayam di pasaran selalu turun.
Selain itu, menurut Sugeng, ketiadaan data yang valid mengakibatkan produksi ayam selalu berlebih. Perusahaan integrator yang memiliki modal yang besar dan lini usaha dari hulu ke hilir, sama-sama memproduksi jenis ayam yang sama dengan peternak mandiri dan peternak rakyat. Akibatnya ketersediaan ayam selalu melimpah, sementara permintaan dari konsumen tetap sama.
“Akibatnya harga jual ayam di pasaran jauh dari Harga Pokok Produksi (HPP). Sementara harga ayam di tingkat konsumen dapat dikatakan relatif stabil. Ketersediaan pasokan ayam yang melebihi permintaan konsumen tersebut menjadi penyebab kerugian besar yang dialami peternak. Permintaan pasar tidak menunjukkan kenaikan, sementara produksi ayam berlebih dan tidak diserap secara optimal,” keluh Sugeng.
Yang mengherankan bagi Sugeng adalah Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian tidak pernah merilis data yang valid dan terpercaya mengenai volume, tingkat pertumbuhan yang akurat dan tepat mengenai produksi ayam di Indonesia, “Padahal data ini sangat penting untuk mengembangkan pengembangan usaha. Sehingga, diketahui data pembeli dan penjual yang mendekati kenyataan,” ujarnya.
Menurut Sugeng, surat edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian mengenai afkir parent stock (PS) ayam ras broiler dan peningkatan kapasitas pemotongan live bird (LB) tidak dilaksanakan efektif. Akibatnya, surat edaran tersebut diterbitkan hanya untuk mengatur keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan DOC FS (day old chicken final stock) ayam ras pedaging. Sehingga, langkah pengurangan populasi pada ayam potong diharapkan dapat menyeimbangkan kembali supply demand yang akan berdampak peningkatan harga jual ayam di pasaran.
Oleh karena itu, menurut Sugeng surat edaran tersebut seharusnya diikuti dengan pengawasan yang ketat. Dengan demikian perusahaan pembibitan PS broiler dan perusahaan integrator melaksanakan surat edaran tersebut secara konsisten, “Faktanya, surat edaran Dirjen PKH tersebut tidak diikuti dengan pengawasan yang efektif. Sehingga, perusahaan pembibitan PS broiler dan perusahaan integrator tidak melaksanakan pengurangan DOC FS yang mengakibatkan peternak mandiri dan peternak rakyat mengalami kerugian dan kebangkrutan,” tutur Sugeng.
Sekber Asosiasi Perunggasan di depan Komnas HAM juga mengeluhkan harga pakan, yang membuat biaya produksi lebih tinggi dari harga pasaran. Tingginya harga jagung sebagai bahan baku utama pakan ternak masih mendera peternak ayam. Peternak ayam mandiri dan peternak rakyat harus memperoleh jagung bersaing dengan broker dan perusahaan integrator yang memiliki kekuatan modal yang besar.
“Situasi ini disebabkan oleh adanya penguasaan di bisnis peternakan mulai dari proses pembibitan, pabrik pakan ternak, produksi obat-obatan dan vitamin ternak, hingga ke proses budidaya ayam konsumsi yang dialkukan perusahaan ayam besar (integrator). Di sisi lain, perusahaan ternak besar juga memasarkan produknya di pasar yang sama yang diakses peternak mandiri dan peternak rakyat,” pungkas Sugeng.
Editor :Tim Sigapnews