Dirjen IKM: Pemda Harus Tanggap Peluang Bisnis Tenun Ulos
Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementrian Perindustrian (berbalut Hiou Simalungun berwarna cokelat) mensosialisasikan tenun nusantara (Photo: Sigapnews/Anden)
Sejumlah kota saat ini sudah dijalin kerja sama dengan Kementrian Perindustrian
"Jadi kita punya program pengembangan tenun di luar Pulau Jawa. Di Kalimantan juga sudah ada tahun lalu. Tahun ini di Sulawesi, Sumatera dan juga NTT.
Ulos juga gak cuma di Siantar. Untuk tenun kita memfasilitasi pemerintah daerah. Kita minta pemerintah aktif dan giat kembangkan.
Ulos ini bagus, apalagi untuk fashion. Kemudian kita juga bisa interior dan pasarnya bagus. Belanda aja setiap tahun minta gak hanya batik tapi ulos juga," kata Dirjen IKM Gati Wibawaningsih.
"Peluang ini harus diambil pemerintah daerah. Jadi perajin IKM itu tergantung pemerintah daerahnya sendiri. Teknis juga kita bantu, mesin juga. Kita bisa kasih potongan harga untuk perorangan," imbuhnya.
Hal itu juga berdasar perkembangan industri tenun nusantara berperan penting sebagai penggerak perekonomian regional dan nasional.
Sentra-sentra industri tenun tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air menggerakkan perekonomian daerah setempat.
Jumlah sentra IKM mencapai 369 sentra dengan jumlah perusahaan mencapai 16.971 unit usaha.
Kain tenun sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Nilai ekspornya pada tahun 2016 mencapai 2,6 juta USD dengan utama ekspor Belanda.
Meningkatnya nilai ekspor kain tenun harus diwaspadai mengingat nilai impornya yang juga meningkat. Pada tahun 2016 nilai impor kain tenun sebesar 1,06 juta USD.
Adanya kain tenun asal Cina dengan harga yang murah menjadi ancaman bagi IKM tenun nasional.
"Untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan daya saing industri tenun nusantara dan pengamanan pasar dalam negeri," katanya.
Selain peluang, Industri tenun juga dihadapkan pada berbagai permasalahan. IKM menghadapi kesulitan dalam mengakses bahan baku dan bahan penolongnya terutama bagi IKM yang berada di luar pulau Jawa. Keterbatasan infrastruktur mengakibatkan tingginya biaya pengiriman.
"Penggunaan benang kapas oleh para perajin tenun telah meningkatkan impor kapas nasional. Berdasarkan data BPS, volume impor kapas Indonesia mencapai 570 ribu ton. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku kapas dengan meningkatkan budidaya kapas dan penggunaan bahan baku alternatif yang tersedia di dalam negeri," jelas Gati.
Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh IKM tenun adalah rendahnya produktivitas karena terbatasnya jumlah perajin yang mampu menggunakan ATBM.
Rendahnya kemampuan teknis peencelupan benang, terbatasnya desain motif tenun, tidak tersedianya sanggar pertenunan, terbatasnya diversifikasi produk jadi tenun, kurangnya regenerasi penenun, banyak motif tenun yang belum dilindungi hak cipta, rendahnya daya saing, kurang tersedianya media informasi dan promosi tenun, keterbatasan modal kerja, terbatasnya akses permodalan serta akses pasar juga menjadi permasalahan bagi para perajin.
"Direktorat Jenderal IKM terus berupaya mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh IKM tenun melalui berbagai bentuk program pembinaan seperti bimbingan teknis, pendampingan oleh tenaga ahli, fasilitasi mesin peralatan.
Untuk mengatasi permasalahan bahan baku kapas IKM tenun kami telah menandatangani Nota Kesepahaman dengaan Direktorat Jenderal Perkebunan dan Balitbang Kementerian Pertanian serta Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan pada bulan Juni 2017 lalu.
Kami juga bekerja sama dengan BUMN dan Asosiasi industri benang dalam pendirian material center yang memenuhi bahan baku IKM. Untuk meningkatkan akses pasar Kementerian Perindustrian juga memiliki program e-Smart IKM.
Kami juga mendorong agar industri batik memanfaatkan berbagai fasilitas pembiayaan seperti KUR, LPEI dan insentif lainnya untuk memperkuat struktur modalnya," pungkasnya.(*)
Editor :Tim Sigapnews