Mengenang Ideologi Soekarno Muda, Masih Relevan Kah Marhaenisme dan kaum Marhaen?

Dalam fase ini ada tiga naskah besar yang cukup untuk mewakilinya, yakni pertama esai BK tahun 1926 "Nasionalisme, Marxisme dan Islamisme", kedua pledoi BK di pengadilan Bandung tahun 1930, "Indonesia Menggugat" dan ketiga, esai BK tentang "Islam Sontoloyo". Cukup artinya untuk melihat utuh pemikiran BK ketika muda tersebut. Marilah kita lihat ideologi BK.
Nasionalisme
Persentuhan politik BK di awal kehidupan remajanya menghasilkan pluralisme keyakinan politiknya. Pluralisme bukan pluralistik. Arfandi Cenne dalam Pemikiran Politik Soekarno Tentang Nasakom (2016) mengatakan itu sebagai eklektik, tapi saya lebih memilih pluralisme.
Pluralisme artinya Sukarno benar-benar percaya bahwa ada tiga "isme" yang mampu bersatu membebaskan Indonesia, yakni Islamisme, Marxisme, dan Nasionalisme. Islamisme tentu merupakan isme awal interkasi BK dengan Tjokroaminoto, guru politik pertama dan mertuanya diusia belia. Tjokro mengajar Islam sebagai alat pembebasan atas penderitaan rakyat dan perjuangan pembebasan itu bersifat internasional.
Bersamaan dengan Islamisme, BK berinteraksi dengan senior-senior anak kos di kediaman Tjokroaminoto, di Surabaya, yang tumbuh kemudian dalam isme lain, yakni Sosialisme. Tokoh-tokoh utama Sosialisme adalah, Muso, Sneevliet, Alimin, Tan Malaka, dan Samaun, yang gigih menggerakkan massa buruh pelabuhan, kereta api dan perkebunan saat itu, sebagai aktifis Sarekat Islam (SI).
Dalam tubuh SI saat itu ada tokoh-tokoh yang hanya memanfaatkan SI sebagai "kuda Troya" untuk memasarkan Sosialisme yang dibawa Henk Sneevliet sebagai ideologi penggerak, namun ada juga yang meyakini Sosialisme itu sama dengan Islamisme, seperti Haji Misbach di SI Solo. Di sisi lainnya, Tan Malaka yang komunis, meminta sinergitas politik Islam dan Komunisme terjadi.
Soekarno ketika mahasiswa di Bandung berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang juga beragam. Selain tokoh-tokoh Islam, seperti A. Hassan, Persis, bertemu juga tokoh2 nasionalis, seperti pendiri Indische Partij, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Tentang nasionalisme ini juga mungkin karena bersentuhan dengan organisasi Budi Utomo, Jong Java dan situasi dunia paska perang dunia pertama. Untuk yang terakhir ini, kekalahan Dinasti Ustmaniyah Ottoman, telah membuat negara-negara Islam di Arab dan Asia terbagi dalam satuan negara berbasis nasional maupun tanah air. Istilah cinta tanah air menjadi gerakan di mana-mana melawan penjajah.
Read more info "Mengenang Ideologi Soekarno Muda, Masih Relevan Kah Marhaenisme dan kaum Marhaen?" on the next page :
Editor :Tim Sigapnews
Source : Teguh Santosa