Negeri Riau Dulu Kaya dan Kini Tinggal Sisa-Sisa Dengan Jutaan Ha Hamparan Sawit
Foto Hutan Riau tahun 2011, sumber dari Jikalahari Riau
SIGAPNEWS.CO.ID | PEKANBARU - Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dan menjadi magnet bagi para pendatang untuk mengadu nasib.
Memang, di Provinsi Riau berdiri kokoh perusahaan multi nasional, PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) adalah anak perusahaan dari Chevron yang bertugas mengeksplorasi minyak yang ada di Riau. Sebelum diambil alih oleh Chevron, perusahaan ini bernama Caltex Pacific Indonesia. CPI pertama kali didirikan di Indonesia pada awal tahun 1924 dan tidak lama lagi akan di Kelola PT. Pertamina pada Agustus 2021 dibawah Anak Usaha Blok Rokan.
Namun, Provinsi Kaya yeng terkenal dibawah minyak dan diatas minyak sawit, Pertumbuhan ekonominya tidak sebanding dengan Sumber Daya Alamnya. Bahkan kalah dengan provinsi tetangga kalau dilihat dari pertumbuhan pembangunan infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah pusat.
Â
Ada beberapa sektor Sumber Daya Alam (SDA) Riau yang menjadi primadona Negara yang kita cintai ini (Indonesia,red) diantaranya, Minyak Bumi, Gas, Hutan, Tambang, Perikanan, perkebunan.
Menurut tokoh Ekonom Riau yang juga Pembina Forum Jurnalis Melayu riau (FJMR) Syed Razali mengatakan Sumber Daya Alam Riau hampir seluruhnya dikuasai orang luar daerah atau diluar masyarakat Riau.
"Coba kita data dan lihat dilapangan tidak ada satu pun perusahaan besar yang dikuasai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau bahkan Lembaga Adat (LAM) Riau pun tidak dilibatkan dalam setiap perjanjian kerjasama," ujar Syed Razali yang juga menjabat ketua Koperasi LAM Riau.
"Penyebab semua ini memang salah kita dan pemimpin Riau ini karena tidak jeli melihat potensi yang ada," sambung Syed Razali.
Akibatnya Perkembangan Riau secara ekonomi nsional itu tidak berpengaruh terhadap kesejateraan masyarakat Riau sendiri.
"Kalau kita kembali ke UUD 1945 tentang kesejateraan, mau tidak mau ekonomi masyarakat diperbaiki. Tidak mungkin masyarakat sejahtera tanpa memperbaiki ekonomi. Bicara perbaikan ekonomi kita bicara potensi kita, kalau didaerah kita potensi perkebunan dan pertanian berarti kita bicara lahan, kalau lahan sudah dijual kita mau bicara apa?,"papar pembina FJMR ini dengan nada bertanya.
Untuk saat ini yang bisa dilakukan oleh Pemrov Riau adalah melihat potensi yang ada dan memperbaiki Sumber Daya manusia (SDM). Syed mengatakan pihak eksekutif baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan kota harus mengangkat kepala Dinas atau Badan sesuai dengan disiplin ilmunya.
"Jangan mengangkat Kepala Dinas atau pejabat hanya berdasarkan suka tidak suka dan hanya golongan mereka saja", ujar Syed.
Setiap kepala Dinas dan pejabat harus mempunyai data base dibidangnya masing-msing, sehingga tahu potensi yang ada pada instansi yang ia pimpin.
Yefrizal, SE selaku Ketua Forum Jurnalis Melayu Riau (FJMR) sependapat dengan Syed Razali, bahkan SDA Riau di eksploitasi habis-habisan.Â
Menurut Yefrizal, Hutan Riau sudah berkurang signifikan, Minyak sudah tinggal sisa-sisa, tetapi kesejahteraan masyarakat Riau yang notabene nya msyarakat Melayu jauh dari kata sejahtera.
"Berdasarkan analisis Jikalahari Riau, sisa hutan alam di Riau hanya tinggal seluas 1.442.669 hektare dari sebelumnya dari pencatatan pengukuran luas hutan alam provinsi itu tahun 1982 seluas 6.727.546 hektare. Data itu didapat melalui Citra Landsat 8-OLI dan Sentinel-2," ucap Yefrizal mengutip dari republika.co.id
"Makin berkurangnya luas hutan alam Riau antara lain lebih akibat terjadinya peningkatan deforestasi hingga mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahun 2018," kata Made Ali, Koordinator Jikalahari dalam keterangannya di Pekanbaru, kepada republika.co.id.
Menurut Made, yang lebih mirisnya lagi, peningkatan deforestasi atau hilangnya hutan akibat kegiatan manusia itu justru dilakukan oleh korporasi HTI, perkebunan sawit, dan cukong-cukong yang merambah kawasan hutan lindung, konservasi, dan taman nasional. Jikalahari mencatat bahwa korporasi menguasai 2,1 juta hektare hutan alam Riau, seperti APP dan April Grup hingga deforestasi terjadi karena ada korupsi, pembakaran hutan, dan lahan yang terjadi di kawasan hutan yang seharusnya menjadi zona lindung untuk resapan air.
"Bahkan temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2015 ada 1,8 juta hektar sawit illegal yang terbagi dalam 378 perusahaan. Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, hanya baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas negara," katan Made.
"Untuk apa pembagunan gedung-gedung bertingkat di provinsi Riau kalau SDA Riau di Eksploitasi habis-habisan, tetapi kesejahteraan masyarakat Riau abaikan," ucap Yefrizal.
"Minyak Riau sudah di ekploitasi sebanyak 2 Milyar Barel lebih, hutan alam Riau sudah gundul dan dijual kepada orang diluar daerah," ungkap Yefrizal.
Riau, memiliki kebun sawit terluas di Indonesia, hampir 3,4 juta hektar. . Punya kebun tak lantas jadikan provinsi ini sejahtera, makmur dan berkedaulatan pangan. Bahkan sebaliknya, tingkat kesejahteraan rendah pada enam dari tujuh kabupaten dengan luas perkebunan sawit terbesar di Riau.
Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Masyarakat Riau 2018 yang dihimpun Yayasan Madani Berkelanjutan, Kabupaten Indragili Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rokan Hilir, didapuk sebagai kabupaten dengan kesejahteraan rendah. Deli beli masyarakat lebih banyak mengalokasikan 50% lebih dari pengeluaran untuk makanan. Hanya Kabupaten Siak bisa dibilang sejahtera karena pengeluaran untuk makanan hanya 49,75% dikutip dari https://www.mongabay.co.id.
Dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Bagian Ketiga Dana Perimbangan Pasal 6 Dana Alokasi Khusus.
(1) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
(2) Penerimaaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(3) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
4) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(5) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:
Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.
"Apakah SDA Riau itu sudah berimbang sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan bagaimana perhitungannya selama ini," tanya Yefrizal yang juga pemimpin perusahaan media ini.
"Kedepannya marilah kita bersinergi baik itu pihak eksekutif, Legislatif, yudikatif serta LAM Riau untuk menyelamatkan SDA Riau demi kesejahteraan masyarakat Riau," ajak Yefrizal.
Editor :Tim Sigapnews
